Jumat, 27 Desember 2013

Konsep Ilmu dan Amal Menurut Alqur'an dan assunah



BAB I
PENDAHULUAN
1.  Latar Belakang
Bahasa memiliki tempat yang istimewa dalam ilmu sosial. Sebagai alat berkomunikasi. bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kebudayaan manusia. Oleh karena itu wajar jika untuk mengungkap persolaan budaya dapat dilakukan melalui atau mencontoh metode bahasa. Oleh karna itu sosiologi akan semakin berkembang jika diinspirasi oleh para ahli bahasa.
makalah ini dimaksudkan untuk menjelaskan mengenai teori strukturalisme Levi Strauss. Teori yang dianggap baru dalam bidang antropologi ini sangat menarik untuk dibicarakan. Selain karena teori baru, strukturalisme memberikan perspektif baru dalam memandang fenomena budaya. Hal-hal yang tadinya dianggap sederhana dan tidak penting, jugstru memiliki peran yang sangat penting dalam menemukan gejala sosial budaya.

2.  Rumusan Masalah

a.       memahami tentang makna ilmu
b.      mengetahui implikasi Ilmu dan amal







BAB II
TINJAUAN TEORITIS
KONSEP ILMU DAN AMAL MENURUT ALQUR’AN DAN ASSUNAH

A.     landasan Ilmu
Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.[1] Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani (material saja), atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika lingkup pandangannya dibatasi ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jarak matahari dan bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi cocok menjadi perawat.
B.     Landasan Amal
Ada seseorang yang bercerita, dalam sebuah perjalanan manasik haji, para jamaah haji secara bertubi-tubi mengajukan banyak pertanyaan kepada pembimbing haji. Hampir semua permasalahan yang mereka jumpai dalam pelaksanaan ibadah haji, selalu dikonsultasikan kepada pembimbing. Kita yakin, suasana semacam ini hampir dialami oleh semua jamaah haji. Mengapa bisa terjadi demikian? Jawabannya hanya ada dua kemungkinan; pertama, mereka khawatir jangan-jangan ibadah haji yang mereka lakukan batal dan tidak diterima oleh Allah. Atau kedua, mereka takut dan khawatir jangan sampai melakukan tindakan pelanggaran yang menyebabkan mereka harus membayar denda.
Demikianlah gambaran semangat orang terhadap ilmu ketika melaksanakan ibadah haji. Suasana itu terbentuk disebabkan kekhawatiran mereka agar hajinya tidak batal. Mereka sadar, ibadah ini telah memakan banyak biaya dan tenaga, sehingga sangat disayangkan ketika ibadah yang sangat mahal nilainya ini, tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi dirinya.
Pernahkah sikap dan perasaan semacam ini hadir dalam diri kita dalam setiap melaksanakan ibadah, atau bahkan dalam setiap amal perbuatan kita? Ataukah sebaliknya, justru kita begitu menganggap enteng setiap amal, sehingga tidak mempedulikan pondasi ilmunya. Inilah yang penting untuk kita renungkan. Semangat untuk mendasari setiap amal dengan ilmu merupakan cerminan perhatian seseorang terhadap kesempurnaan beramal. Untuk menunjukkan sikap ini, seorang ulama, yang bernama Sufyan at-Tsauri mengatakan:
إِنْ اسْتَطَعتَ ، أَلَّا تَحُكَّ رَأسَكَ إِلَّا بِأَثَرٍ فَافعَلْ
Jika kamu mampu tidak akan menggaruk kepala kecuali jika ada dalilnya maka lakukanlah
(Al Jami’ li Akhlaq ar Rawi wa Adab as-Sami’, Khatib al-Baghdadi, Mauqi Jami’ al-Hadis: 1/197)
Ulama ini menasehatkan agar setiap amal yang kita lakukan sebisa mungkin didasari dengan dalil. Sampai-pun dalam masalah kebiasaan kita, atau bahkan sampai dalam masalah yang mungkin dianggap sepele. Apalagi dalam masalah ibadah. Karena inilah syarat mutlak seseorang dikatakan mengamalkan dalil.
Namun sayangnya, masih banyak di antara kaum muslimin yang kurang mempedulikan landasan ilmu ketika beramal yang sifatnya rutinitas. Jarang kita temukan orang yang melaksanakan ibadah rutin, semacam shalat misalnya, kemudian dia berusaha mencari tahu, apa landasan setiap gerakan dan bacaan shalat yang dia kerjakan. Bisa jadi ini didasari anggapan, amal rutinitas ini terlalu ringan dan mudah untuk dilakukan.
C.     Keterpaduan Ilmu dan Amal
Ibnu Bathah  menuturkan sebuah riwayat dari Masruq, dari Abdullah yang berkata, “Sesungguhnya kalian berada pada suatu zaman yang di dalamnya beramal adalah lebih baik daripada berpendapat. Kelak akan datang suatu zaman yang di dalamnya berpendapat lebih baik daripada beramal.” (Ibn Baththah, Al-Ibanah al-Kubra, I/207).
Ath-Thabrani juga meriwayatkan sebuah hadis dari penuturan al-’Ala bin al-Harits, dari Hizam bin Hakim bin Hizam, dari ayahnya, dari Baginda Nabi Muhammad saw. yang bersabda, “Kalian benar-benar berada pada suatu zaman yang di dalamnya banyak sekali fuqaha dan sedikit sekali para ahli pidato…Pada zaman ini amal adalah lebih baik daripada ilmu. Kelak akan datang suatu zaman yang di dalamnya sedikit sekali fuqaha dan banyak para ahli pidato…Pada zaman ini ilmu lebih baik daripada amal.” (Ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir III/236)
Dari kedua hadis di atas setidaknya dapat dipahami bahwa pada zaman yang pertama (yakni generasi Sahabat Nabi saw.) kebanyakan orang memahami Islam secara mendalam. Karena itu, yang dibutuhkan saat itu adalah mengamalkan apa yang telah dipahami. Sebaliknya, pada zaman yang kedua-kemungkinan adalah zaman kita hari ini-saat orang-orang yang memahami Islam secara mendalam sangat sedikit maka banyak orang yang beramal tanpa ilmu. Karena itu, pada zaman kini memahami dan mendalami Islam-yang kemudian diamalkan-tentu lebih penting daripada beramal tanpa didasarkan pada ilmu.
Kesimpulan ini setidaknya sesuai dengan makna riwayat yang diungkapkan oleh Imam Malik saat menuturkan hadis penuturan Yahya bin Said yang berkata bahwa Abdullah bin Mas’ud pernah berkata kepada seseorang, “Sesungguhnya engkau berada pada suatu zaman yang di dalamnya banyak para fuqaha dan sedikit para pembaca al-Quran yang menjaga hukum-hukumnya dan tidak terlalu fokus pada huruf-hurufnya…Kelak akan datang kepada manusia suatu zaman yang di dalamnya sedikit para fuqaha dan banyak para pembaca al-Qurannya yang menjaga huruf-hurufnya tetapi mengabaikan hukum-hukumnya.” (Imam Malik, Al-Muwaththa’, II/44).
Dari hadis ini setidaknya dapat dipahami tiga perkara. Pertama: Ibn Mas’ud tidak bermaksud menyatakan orang-orang yang membaca al-Quran pada zamannya sedikit. Namun, yang beliau maksud bahwa orang-orang yang membaca al-Quran pada zamannya-yang perhatiannya hanya pada bacaan tanpa memperhatikan hukum-hukumnya-amatlah sedikit. Dengan kata lain, pada zaman Sahabat Nabi saw. orang-orang biasa membaca al-Quran sekaligus memahami dan mengamalkan hukum-hukumnya, dan tidak memokuskan perhatiannya pada huruf-hurufnya, karena memang al-Quran adalah bahasa mereka. Sebaliknya, pada zaman kini-zaman yang mungkin diisyaratkan dalam hadis ini oleh Ibn Mas’ud-banyak orang membaca al-Quran hanya fokus pada bacaan (huruf-huruf)-nya saja, tetapi tidak memahami apalagi mengamalkan hukum-hukumnya.
Kedua: Akan datang suatu zaman-yang tentu berbeda dengan zaman Ibn Mas’ud alias zaman Sahabat Nabi saw.-yang di dalamnya sedikit para fuqaha (ahli fikih). Maksudnya, pada zaman itu-boleh jadi zaman kita hari ini-orang-orang yang memahami Islam secara mendalam amatlah sedikit. Kebanyakan mereka adalah yang bisa dan biasa membaca al-Quran tetapi tidak memahami isinya secara mendalam. Tentu hadis ini tidak sedang mencela para pembaca dan penghapal al-Quran. Yang dicela adalah sedikitnya para fuqaha dari kalangan mereka karena tujuan akhir mereka sebatas membaca dan menghapal al-Quran, bukan memahami isinya apalagi mengamalkan dan menerapkan hukum-hukumnya.
Ketiga: Akan datang suatu zaman yang di dalamnya huruf-huruf al-Quran benar-benar dijaga, tetapi hukum-hukumnya ditelantarkan. Maknanya, para pemelihara mushaf al-Quran jumlahnya banyak. Namun, kebanyakan mereka tidak memahami isi al-Quran itu. Tidak pula pada saat itu-yang sesungguhnya telah terjadi pada zaman kini-manusia dipimpin oleh imam atau para penguasa yang menerapkan al-Quran di tengah-tengah mereka. Akibatnya, hukum-hukum al-Quran ditelantarkan. Ini jelas bertentangan dengan zaman Sahabat Nabi saw. saat manusia dipimpin oleh para pemimpin yang berhukum dengan al-Quran dan menerapkan al-Quran kepada mereka (Lihat: Al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa’, I/429).
Alhasil, pesan inti dari hadis di atas sesungguhnya adalah: Pertama, dorongan kepada setiap Muslim untuk membaca dan memahami al-Quran atau mendalami Islam. Kedua, mengamalkan isi al-Quran termasuk berusaha terus mendorong para penguasa untuk menerapkan hukum-hukumnya (syariah Islam) di tengah-tengah masyarakat.





















BAB III
PEMBAHASAN
A Definisi Ilmu
Menurut bahasa (Arab) : al Ilmu lawan kata al Jahlu (tidak tahu atau bodoh). atau mengenal sesuatu dalam keadaan aslinya dengan pasti.[1] Menurut Istilah : Ilmu yang kita maksud di sini adalah Ilmu syar’i yaitu ilmu tentang penjelasan-penjelasan dan petunjuk yang Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa turunkan kepada rasul Nya (atau dengan kata lain Ilmu tentang al Qur`an dan as Sunnah). ilmu yang disebut-sebut dalam (al Qur`an dan as Sunnah) dan mendapatkan pujian adalah ilmu wahyu Namun demikian bukan berarti bahwa ilmu-ilmu yang lain tidak ada manfaatnya. Ilmu-ilmu lain dikatakan bermanfaat jika dilihat dari salah satu sisinya (yang baik) yaitu : jika membantu dalam ketaatan kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dan dalam menolong agama Allah serta bermanfaat bagi kaum muslimin. Kadang-kadang hukum mempelajarinya menjadi wajib, jika itu masuk dalam firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS Al Anfaal: 60).
B. Antara Ilmu dan Amal
Tidak diragukan lagi bahwa Islam menaruh perhatian sangat besar terhadap ilmu. Banyak nash, baik dari al-Qur’an maupun dari al-hadits yang menjelaskan tentang fadhailul ‘ilm wal ‘alim (keutamaan ilmu dan orang yang berilmu). Simak saja misalnya firman Allah dalam surat al-Mujadalah ayat 11: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu“.
Saking besarnya perhatian Islam terhadap ilmu ini, hampir semua sisi kehidupan mulai sejak lahir sampai pada saat menjelang ajal selalu ditekankan mengenai ilmu. Perhatikan misalnya, ketika bayi baru lahir, Rasulullah menganjurkan untuk diperkenalkan ilmu mengenal Allah, Tuhan semesta alam dan Nabi Muhammad sebagai utusanNya melalui adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kirinya Menginjak dewasa sampai menjadi orang tua, juga terus dianjurkan untuk melafalkan kalimah thayyibah melalui doa yang harus dipahami sebagai sebuah proses pembelajaran. Bahkan, doa yang sering kita ucapkan, juga merupakan permohonan untuk diberikan ilmu karena kata fiddunya hasanah dalam doa dimaksud ditafsirkan oleh para mufassir, sebagaimana dikutip Imam al-Ghazali dalam al-Ihya, dengan ilmu dan ibadah. Menjelang ajal sekalipun tetap dianjurkan untuk berilmu melaui talqin kalimah thayyibah, menuntun si sakit untuk tetap mengenal dan menghadirkan Allah Yang Maha Kuasa. Oleh karena itulah, dalam sebuah hadits dikatakan: “Carilah ilmu sejak mulai dari buaian sampai menjelang ajal“.
Dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang berilmu jauh di atas tukang ibadah yang jahil (bodoh). “Keutamaan orang yang berilmu atas orang yang rajin beribadah ibarat keutamaan bulan purnama atas semua bintang“. Bahkan dalam hadis lain disebutkan: “Tidurnya orang yang berilmu lebih utama daripada ibadahnya orang yang bodoh”. Kedua hadits ini harus dipahami bahwa seorang alim (orang yang berilmu) lebih utama dari seorang abid (tukang ibadah) lantaran bagaimana mungkin seseorang dapat melaksanakan ibadahnya secara benar kalau tidak tahu ilmunya.
Ilmu merupakan kunci untuk menyelesaikan segala persoalan, baik persoalan yang berhubungan dengan kehidupan beragama maupun persoalan yang berhubungan dengan kehidupan duniawi. Ilmu diibaratkan dengan cahaya, karena ilmu memiliki pungsi sebagai petunjuk kehidupan manusia, pemberi cahaya bagi orang yang ada dalam kegelapan.
Orang yang mempunyai ilmu mendapat kehormatan di sisi Allah dan Rasul-Nya. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengarah agar umatnya mau menuntut ilmu, seperti yang terdapat dalam Qs Al Mujadalah ayat 11:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ
Artinya : Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat %