BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Bahasa memiliki tempat yang
istimewa dalam ilmu sosial. Sebagai alat berkomunikasi. bahasa merupakan unsur
yang sangat penting dalam kebudayaan manusia. Oleh karena itu wajar jika untuk
mengungkap persolaan budaya dapat dilakukan melalui atau mencontoh metode
bahasa. Oleh karna itu sosiologi akan semakin berkembang jika diinspirasi oleh
para ahli bahasa.
makalah ini dimaksudkan untuk
menjelaskan mengenai teori strukturalisme Levi Strauss. Teori yang dianggap
baru dalam bidang antropologi ini sangat menarik untuk dibicarakan. Selain
karena teori baru, strukturalisme memberikan perspektif baru dalam memandang
fenomena budaya. Hal-hal yang tadinya dianggap sederhana dan tidak penting,
jugstru memiliki peran yang sangat penting dalam menemukan gejala sosial
budaya.
2.
Rumusan Masalah
a. memahami
tentang makna ilmu
b.
mengetahui
implikasi Ilmu dan amal
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
KONSEP
ILMU DAN AMAL MENURUT ALQUR’AN DAN ASSUNAH
A. landasan
Ilmu
Ilmu
atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.[1]
Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu
memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian
ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu
bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum
sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji
dengan seperangkat metode
yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu
terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang
dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
Ilmu Alam
hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani
(material saja), atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku
manusia jika lingkup pandangannya dibatasi ke dalam segi umum dari perilaku
manusia yang konkret. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab
pertanyaan tentang berapa jarak matahari dan bumi, atau ilmu psikologi menjawab
apakah seorang pemudi cocok menjadi perawat.
B.
Landasan Amal
Ada
seseorang yang bercerita, dalam sebuah perjalanan manasik haji, para jamaah
haji secara bertubi-tubi mengajukan banyak pertanyaan kepada pembimbing haji.
Hampir semua permasalahan yang mereka jumpai dalam pelaksanaan ibadah haji,
selalu dikonsultasikan kepada pembimbing. Kita yakin, suasana semacam ini
hampir dialami oleh semua jamaah haji. Mengapa bisa terjadi demikian?
Jawabannya hanya ada dua kemungkinan; pertama, mereka khawatir jangan-jangan
ibadah haji yang mereka lakukan batal dan tidak diterima oleh Allah. Atau
kedua, mereka takut dan khawatir jangan sampai melakukan tindakan pelanggaran
yang menyebabkan mereka harus membayar denda.
Demikianlah
gambaran semangat orang terhadap ilmu ketika melaksanakan ibadah haji. Suasana
itu terbentuk disebabkan kekhawatiran mereka agar hajinya tidak batal. Mereka
sadar, ibadah ini telah memakan banyak biaya dan tenaga, sehingga sangat
disayangkan ketika ibadah yang sangat mahal nilainya ini, tidak menghasilkan
sesuatu apapun bagi dirinya.
Pernahkah
sikap dan perasaan semacam ini hadir dalam diri kita dalam setiap melaksanakan
ibadah, atau bahkan dalam setiap amal perbuatan kita? Ataukah sebaliknya,
justru kita begitu menganggap enteng setiap amal, sehingga tidak mempedulikan
pondasi ilmunya. Inilah yang penting untuk kita renungkan. Semangat untuk
mendasari setiap amal dengan ilmu merupakan cerminan perhatian seseorang
terhadap kesempurnaan beramal. Untuk menunjukkan sikap ini, seorang ulama, yang
bernama Sufyan at-Tsauri mengatakan:
إِنْ اسْتَطَعتَ ، أَلَّا تَحُكَّ
رَأسَكَ إِلَّا بِأَثَرٍ فَافعَلْ
Jika kamu mampu tidak akan menggaruk
kepala kecuali jika ada dalilnya maka lakukanlah
(Al Jami’ li Akhlaq ar Rawi wa Adab
as-Sami’, Khatib al-Baghdadi, Mauqi Jami’ al-Hadis: 1/197)
Ulama ini menasehatkan agar setiap
amal yang kita lakukan sebisa mungkin didasari dengan dalil. Sampai-pun dalam
masalah kebiasaan kita, atau bahkan sampai dalam masalah yang mungkin dianggap
sepele. Apalagi dalam masalah ibadah. Karena inilah syarat mutlak seseorang
dikatakan mengamalkan dalil.
Namun sayangnya, masih banyak di
antara kaum muslimin yang kurang mempedulikan landasan ilmu ketika beramal yang
sifatnya rutinitas. Jarang kita temukan orang yang melaksanakan ibadah rutin,
semacam shalat misalnya, kemudian dia berusaha mencari tahu, apa landasan
setiap gerakan dan bacaan shalat yang dia kerjakan. Bisa jadi ini didasari
anggapan, amal rutinitas ini terlalu ringan dan mudah untuk dilakukan.
C.
Keterpaduan Ilmu dan Amal
Ibnu
Bathah menuturkan sebuah riwayat dari Masruq, dari Abdullah yang berkata,
“Sesungguhnya kalian berada pada suatu zaman yang di dalamnya beramal adalah
lebih baik daripada berpendapat. Kelak akan datang suatu zaman yang di dalamnya
berpendapat lebih baik daripada beramal.” (Ibn Baththah, Al-Ibanah al-Kubra,
I/207).
Ath-Thabrani
juga meriwayatkan sebuah hadis dari penuturan al-’Ala bin al-Harits, dari Hizam
bin Hakim bin Hizam, dari ayahnya, dari Baginda Nabi Muhammad saw. yang
bersabda, “Kalian benar-benar berada pada suatu zaman yang di dalamnya banyak
sekali fuqaha dan sedikit sekali para ahli pidato…Pada zaman ini amal adalah
lebih baik daripada ilmu. Kelak akan datang suatu zaman yang di dalamnya
sedikit sekali fuqaha dan banyak para ahli pidato…Pada zaman ini ilmu lebih
baik daripada amal.” (Ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir III/236)
Dari
kedua hadis di atas setidaknya dapat dipahami bahwa pada zaman yang pertama
(yakni generasi Sahabat Nabi saw.) kebanyakan orang memahami Islam secara
mendalam. Karena itu, yang dibutuhkan saat itu adalah mengamalkan apa yang
telah dipahami. Sebaliknya, pada zaman yang kedua-kemungkinan adalah zaman kita
hari ini-saat orang-orang yang memahami Islam secara mendalam sangat sedikit
maka banyak orang yang beramal tanpa ilmu. Karena itu, pada zaman kini memahami
dan mendalami Islam-yang kemudian diamalkan-tentu lebih penting daripada
beramal tanpa didasarkan pada ilmu.
Kesimpulan
ini setidaknya sesuai dengan makna riwayat yang diungkapkan oleh Imam Malik
saat menuturkan hadis penuturan Yahya bin Said yang berkata bahwa Abdullah bin
Mas’ud pernah berkata kepada seseorang, “Sesungguhnya engkau berada pada suatu
zaman yang di dalamnya banyak para fuqaha dan sedikit para pembaca al-Quran
yang menjaga hukum-hukumnya dan tidak terlalu fokus pada huruf-hurufnya…Kelak
akan datang kepada manusia suatu zaman yang di dalamnya sedikit para fuqaha dan
banyak para pembaca al-Qurannya yang menjaga huruf-hurufnya tetapi mengabaikan
hukum-hukumnya.” (Imam Malik, Al-Muwaththa’, II/44).
Dari
hadis ini setidaknya dapat dipahami tiga perkara. Pertama: Ibn Mas’ud tidak
bermaksud menyatakan orang-orang yang membaca al-Quran pada zamannya sedikit.
Namun, yang beliau maksud bahwa orang-orang yang membaca al-Quran pada
zamannya-yang perhatiannya hanya pada bacaan tanpa memperhatikan
hukum-hukumnya-amatlah sedikit. Dengan kata lain, pada zaman Sahabat Nabi saw.
orang-orang biasa membaca al-Quran sekaligus memahami dan mengamalkan
hukum-hukumnya, dan tidak memokuskan perhatiannya pada huruf-hurufnya, karena memang
al-Quran adalah bahasa mereka. Sebaliknya, pada zaman kini-zaman yang mungkin
diisyaratkan dalam hadis ini oleh Ibn Mas’ud-banyak orang membaca al-Quran
hanya fokus pada bacaan (huruf-huruf)-nya saja, tetapi tidak memahami apalagi
mengamalkan hukum-hukumnya.
Kedua:
Akan datang suatu zaman-yang tentu berbeda dengan zaman Ibn Mas’ud alias zaman
Sahabat Nabi saw.-yang di dalamnya sedikit para fuqaha (ahli fikih). Maksudnya,
pada zaman itu-boleh jadi zaman kita hari ini-orang-orang yang memahami Islam
secara mendalam amatlah sedikit. Kebanyakan mereka adalah yang bisa dan biasa
membaca al-Quran tetapi tidak memahami isinya secara mendalam. Tentu hadis ini
tidak sedang mencela para pembaca dan penghapal al-Quran. Yang dicela adalah
sedikitnya para fuqaha dari kalangan mereka karena tujuan akhir mereka sebatas
membaca dan menghapal al-Quran, bukan memahami isinya apalagi mengamalkan dan
menerapkan hukum-hukumnya.
Ketiga:
Akan datang suatu zaman yang di dalamnya huruf-huruf al-Quran benar-benar
dijaga, tetapi hukum-hukumnya ditelantarkan. Maknanya, para pemelihara mushaf
al-Quran jumlahnya banyak. Namun, kebanyakan mereka tidak memahami isi al-Quran
itu. Tidak pula pada saat itu-yang sesungguhnya telah terjadi pada zaman
kini-manusia dipimpin oleh imam atau para penguasa yang menerapkan al-Quran di
tengah-tengah mereka. Akibatnya, hukum-hukum al-Quran ditelantarkan. Ini jelas
bertentangan dengan zaman Sahabat Nabi saw. saat manusia dipimpin oleh para
pemimpin yang berhukum dengan al-Quran dan menerapkan al-Quran kepada mereka
(Lihat: Al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa’, I/429).
Alhasil,
pesan inti dari hadis di atas sesungguhnya adalah: Pertama, dorongan kepada
setiap Muslim untuk membaca dan memahami al-Quran atau mendalami Islam. Kedua,
mengamalkan isi al-Quran termasuk berusaha terus mendorong para penguasa untuk
menerapkan hukum-hukumnya (syariah Islam) di tengah-tengah masyarakat.
BAB
III
PEMBAHASAN
A Definisi Ilmu
Menurut bahasa (Arab) : al Ilmu
lawan kata al Jahlu (tidak tahu atau bodoh). atau mengenal sesuatu dalam
keadaan aslinya dengan pasti.[1] Menurut Istilah : Ilmu yang kita maksud di
sini adalah Ilmu syar’i yaitu ilmu tentang penjelasan-penjelasan dan petunjuk
yang Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa turunkan kepada rasul Nya (atau dengan kata
lain Ilmu tentang al Qur`an dan as Sunnah). ilmu yang disebut-sebut dalam (al
Qur`an dan as Sunnah) dan mendapatkan pujian adalah ilmu wahyu Namun demikian
bukan berarti bahwa ilmu-ilmu yang lain tidak ada manfaatnya. Ilmu-ilmu lain
dikatakan bermanfaat jika dilihat dari salah satu sisinya (yang baik) yaitu :
jika membantu dalam ketaatan kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dan dalam
menolong agama Allah serta bermanfaat bagi kaum muslimin. Kadang-kadang hukum
mempelajarinya menjadi wajib, jika itu masuk dalam firman Allah Subhaanahu Wa
Ta’ala:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa
saja yang kamu sanggupi dari kuda kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS Al
Anfaal: 60).
B. Antara Ilmu dan Amal
Tidak diragukan lagi bahwa Islam menaruh perhatian
sangat besar terhadap ilmu. Banyak nash, baik dari al-Qur’an maupun dari
al-hadits yang menjelaskan tentang fadhailul ‘ilm wal ‘alim (keutamaan ilmu dan
orang yang berilmu). Simak saja misalnya firman Allah dalam surat al-Mujadalah
ayat 11: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara
kalian dan orang-orang yang berilmu“.
Saking besarnya perhatian Islam terhadap ilmu ini,
hampir semua sisi kehidupan mulai sejak lahir sampai pada saat menjelang ajal
selalu ditekankan mengenai ilmu. Perhatikan misalnya, ketika bayi baru lahir,
Rasulullah menganjurkan untuk diperkenalkan ilmu mengenal Allah, Tuhan semesta
alam dan Nabi Muhammad sebagai utusanNya melalui adzan di telinga kanan dan
iqamah di telinga kirinya Menginjak dewasa sampai menjadi orang tua, juga terus
dianjurkan untuk melafalkan kalimah thayyibah melalui doa yang harus dipahami
sebagai sebuah proses pembelajaran. Bahkan, doa yang sering kita ucapkan, juga
merupakan permohonan untuk diberikan ilmu karena kata fiddunya hasanah dalam
doa dimaksud ditafsirkan oleh para mufassir, sebagaimana dikutip Imam
al-Ghazali dalam al-Ihya, dengan ilmu dan ibadah. Menjelang ajal sekalipun
tetap dianjurkan untuk berilmu melaui talqin kalimah thayyibah, menuntun si
sakit untuk tetap mengenal dan menghadirkan Allah Yang Maha Kuasa. Oleh karena
itulah, dalam sebuah hadits dikatakan: “Carilah ilmu sejak mulai dari buaian
sampai menjelang ajal“.
Dalam hadits lain disebutkan bahwa
orang yang berilmu jauh di atas tukang ibadah yang jahil (bodoh). “Keutamaan
orang yang berilmu atas orang yang rajin beribadah ibarat keutamaan bulan
purnama atas semua bintang“. Bahkan dalam hadis lain disebutkan: “Tidurnya
orang yang berilmu lebih utama daripada ibadahnya orang yang bodoh”. Kedua
hadits ini harus dipahami bahwa seorang alim (orang yang berilmu) lebih utama
dari seorang abid (tukang ibadah) lantaran bagaimana mungkin seseorang dapat
melaksanakan ibadahnya secara benar kalau tidak tahu ilmunya.
Ilmu merupakan kunci untuk
menyelesaikan segala persoalan, baik persoalan yang berhubungan dengan
kehidupan beragama maupun persoalan yang berhubungan dengan kehidupan duniawi.
Ilmu diibaratkan dengan cahaya, karena ilmu memiliki pungsi sebagai petunjuk
kehidupan manusia, pemberi cahaya bagi orang yang ada dalam kegelapan.
Orang yang mempunyai ilmu mendapat
kehormatan di sisi Allah dan Rasul-Nya. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengarah
agar umatnya mau menuntut ilmu, seperti yang terdapat dalam Qs Al Mujadalah
ayat 11:
يَرْفَعِ
اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ
Artinya : Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat %