Jumat, 27 Desember 2013

MAKALAH KONSEP AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM





BAB I
 PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah akal. Manusia diberi kemampuan oleh Allah untuk berpikir. Akal yang dimiliki manusia digunakan untuk memilih, mempertimbangkan, dan menentukan jalan pikirannya sendiri. Dengan menggunakan akal, manusia mampu memahami Al-Qura’an yang diturunkan sebagai wahyu oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW. Dengan akal pula, manusia mampu menelaah sejarah islam dari masa ke masa dari masa lampau. Akal juga digunakan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Tak dapat dipungkiri, bahwa akal mempunyai kedudukan dalam wilayah agama, yang penting dalam hal ini, menentukan dan menjelaskan batasan-batasan akal, sebab kita meyakini bahwa hampir semua kaum muslim berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif.
Akal dan wahyu digunakan oleh manusia untuk membahas ilmu pengetahuan. Akal digunakan manusia untuk bernalar. Sedangkan wahyu digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam berpikir. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan salah satu hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Manusia membutuhkan ilmu pengetahuan karena pada dasarnya manusia mempunyai suatu anugerah terbesar yang diberikan Allah SWT yaitu akal.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      AKAL
a.         Pengertian Akal
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh (عـقـلوه) dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون) 24 ayat, na’qil (نعـقـل) 1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون) 22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti. Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat luas.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah: suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari mahluk lain.


b.      Fungsi Akal
1.         Tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
2.         Alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
3.         Alat penemu solusi ketika permasalahan datang.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Dan  Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa.

c.       Kekuatan Akal
1.      Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
2.      Mengetahui adanya kehidupan di akhirat.
3.      Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan jahat.
4.      Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
5.      Mengetahui kewajiban berbuat baik  dan kewajiban pula menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6.      Membuat hukum-hukum yang membantu dalam melaksanakan kewajiban tersebut.


Kedudukan Akal dalam Islam
Oleh: Jajang Hidayatullah

Description: http://hadidot.files.wordpress.com/2010/05/akal.jpgPendahuluan
Kedudukan akal dalam Islam menempati posisi yang amat terhormat, melebihi agama-agama lain. Sebagai risalah Ilahiyyah terakhir, Islam mempersyaratkan kewajiban menjalankan agama bagi orang yang berakal. Artinya, orang yang hilang akalnya tidak diwajibkan mengerjakan perintah atau menjauhi larangan-Nya (taklif). Dalam hadits, Nabi Saw menginformasikan:

عَنْ عَلِىٍّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ ».
“Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan [3] orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud, باب فِى الْمَجْنُونِ يَسْرِقُ أَوْ يُصِيبُ حَدًّا. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Muhammad Abu Zahrah mengatakan, bahwa dasar taklif adalah akal dan pemahaman. Akal dan pemahaman itulah yang menjadi landasan taklif. Beliau mengutip al-Amidy yang mengatakan, “para ahli sepakat bahwa syarat mukallaf haruslah berakal dan faham. Karena taklif tuntutan maka mustahil membebani sesuatu yang tidak berakal dan tidak faham, seperti benda mati dan binatang. Menurutnya orang gila atau anak-anak hanya mempunyai pemahaman global terhadap tuntutan tanpa pemahaman yang rinci bahwa tuntutan itu merupakan perintah atau larangan yang mempunyai dampak pahala atau siksa, atau tuntutan itu merupakan perintah Allah perintah Allah Swt yang harus ditaati, maka statusnya memahami secara rinci sama halnya dengan binatang atau benda mati yang tidak mampu memahami tuntutan dasar.” (lihat Ushul fiqih karya Muhammad Abu Zahrah)
Dengan demikian bahwa akal adalah syarat agar seseorang bisa memahami sesuatu, sehingga membuat amalan menjadi baik dan sempurna. Oleh karena itu, akal yang baik saja yang bisa mendapatkan taklif (beban syari’at) sehingga orang gila yang tidak berakal tidak mendapat perintah shalat dan puasa. Seseorang yang tidak memiliki akal adalah keadaan yang serba penuh kekurangan.

Definisi Akal
Ibnu mandzur dalam lisanul-Arab menyatakan bahwa akal adalah sifat; 'uqila lahu shay'un berarti dijaga atau diikat (hubisa) akalnya dan dibatasi. U'tuqila lisanuhu idha hubisa wa muni'a l-kalam (u'tuqila lidahnya, jika ia dibatasi dan dilarang  berbicara).  'aqaltu  l-ba'ir,  berarti  saya  telah  mengikat  keempat  kaki  unta dan hal ini pun senada dengan al-Jarjani dalam kitabnya al-Ta’rifat dengan tambahan bahwa akal itu adalah sesuatu yang mengikat hakikat berbagai hal; dan itu tempat dikepala tetapi ada juga yang mengatakan adanya dalam hatiIbnu  al-Anbari mengartikan  akal  dalam  syairnya  sebagai  sesuatu  yang  memberikan  kesabaran  dan  wejangan (maw'idzah)  bagi  orang  yang mempunyai  kebutuhan  (hajjah).  Sehingga  dikatakan:  al-aqil  alladhi yahbisu nafsahu wa  yarudduha  'an hawaha  (orang berakal adalah yang mampu mengekang hawa nafsunya dan menolaknya). Maka, kata ma'qul (masuk akal) berarti ma ta'qiluhu bi qalbika, yaitu sesuatu yang kamu nalar dengan hati/kalbumu. Selanjutnya  dijelaskan  bahwa  akal  berarti  kepastian  (verification, making  sure,  certitude)  dalam segala perkara. akal, karena dua alasan:
a.  Mencegah pemiliknya (manusia) untuk terjerumus kedalam jurang kehancuran.
b.  Pembedaan yang membedakan manusia dari semua hewan[1].
Makna  kata  akal  yang  berarti  suatu  yang  terikat  atau  ikatan, hal ini diperkuat dengan  hadits  'Adiy  ibn Hatim, dimana  beliau  berkata:  "Ketika  turun  ayat  (QS.  2:187)  sehingga  menjadi  jelas  bagimu  antara 'benang putih' dan  'benang hitam', aku segera menyiapkan benang  ('iqal) hitam dan benang putih, lalu  aku  letakkan  di  bawah  bantal.  Kemudian  aku melihatnya  di malam  hari,  maka  tidak  jelas bagiku.  Lalu  aku  pergi  ke Rasulullah  SAW,  aku  pun menceritakan  hal  itu  kepada  beliau. Maka beliau pun bersabda: Sesungguhnya (ayat) itu (berarti) hitamnya malam dan terangnya siang"
Aqala menurut sebagian orang adalah bentuk kekuatan untuk mentransfer ilmu; sehingga dengan kekuatan akal tersebut manusia bisa mengambil faidah dari ilmunya itu. Amirul mukminin telah berkata, “akal itu terdiri dari dua macam, yaitu akal dari tabi’at manusia itu sendiri dan akal yang dihasilkan dari mendengar, pendidikan dsb. Maka tidak bermanfaat dari apa yang kita dengar kalau kita tidak punya akal secara tab’i. Seperti tidak bermanfaatnya mata kalau tidak ada cahaya matahari”. Unsur pertama dalam akal, tergambar dalam sabda Nabi yang menyatakan ‘tidaklah Allah menciptakan makhluk yang paling mulia kecuali padanya dikaruniai akal’ makanya kalau tidak terdapat unsur ini, dalam Islam manusia tidak memiliki kewajiban (taklif). sedangkan unsur kedua dalam akal, tergambar dalam sabda Rasul yang menyatakan ‘tidak ada seorng pun yang paling utama berusaha mengenai sesuatu dari akalnya kecuali yang mengantarkannya pada hidayah dan menolaknya pada hal-hal yang membuatnya murtad’. Atau sebagaimana isyarat al-Qur’an ‘....dan tidak akan ada yang berakal kecuali orang yang berilmu (al-Ankabut: 43)’. Makanya, orang kafir divonis oleh Allah tidak berakal karena tidak memiliki unsur yang kedua ini, Allah Swt berfirman ‘....(mereka orang-orang kafir) tuli, bisu dan buta maka mereka tidak berakal (al-Baqarah: 171)’[2].
Dalam analisa Al-Ghazali menurutnya akal memiliki banyak pengertian. Ia dapat berarti potensi yang membedakan manusia dari binatang dan yang menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan teoritis. Akal juga berarti pengetahuan yang dicerna oleh seorang anak yang telah mendekati usia dewasa. Misalnya, dua itu lebih banyak dari satu. Makna ketiga dari akal menurut al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengalaman yang dilaluinya yang pada akhirnya dapat memperhalus budi pekertinya. Menurut kebiasaan orang yang tidak berbudi pekerti yang baik dinamakan orang tidak berakal. Makna ke empat dari akal adalah kekuatan insting yang menjadikan seseorang mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya, lalu mampu menekan hawa nafsunya serta mengatasinya agar tidak terbawa larut olehnya[3].
Jadi, Akal sejatinya akan kita fahami definisinya sejalan dengan memahami makna kebahasannya yaitu aqala yang berarti tali pengikat. Ia adalah potensi manusiawi yang berfungsi sebagai tali pengikat yang menghalanginya terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Akal semacam itulah yang menjadi tujuan dan yang harus diusahakan untuk meraihnya, karena yang demikian itulah yang akan menyelamatkan seseorang. Tanpa akal, siapapun akan terjerumus walau memiliki pengetahuan teoritis yang sangat dalam[4].

Akal Merupakan Salah Satu Sumber Ilmu
Dari segi epistemologi pun Islam mempunyai rumusan tersendiri. Dalam karyanya, Syamsuddin Arif menyatakan bahwa sumber pengetahuan Islam terdiri dari tiga sumber, yaitu persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal sehat (ta’aqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar shadiq), yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam al-Qur’an; an-Nahl:78, Qaf: 37, al-A’raf: 179, al-Hajj: 46, Ali Imran: 138, al-Ma’idah: 15. Mengenai proses akal mencakup nalar (nazhar) dan alur fikir (fikr). Dengan nalar dan alur fikir ini kita bisa berartikulasi, menysusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat putusan dan menarik kesimpulan[5]. inilah yang kemudian membedakan keilmuan Islam dengan Barat. Karena di Barat sumber ilmu menghendaki hanya yang bersifat logis dan empiris saja.
Menurut Daud Rasyid, dalam Islam sumber-sumber ilmu berasal dari wahyu dan akal. Wahyu adalah informasi tentang sesuatu dari yang maha mengetahui yaitu Allah Swt. wahyu Allah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dalam bentuk al-Qur’an (al-Wahyu al-mathluw) dan sunnah Nabi Saw (al-Wahyu ghairu-mathluw). Ciri khas wahyu itu adalah mengandung kebenaran muthlak yang tak perlu didiskusikan kebenarannya. Menurut Daud Rasyid fungsi manusia dalam kaitan ini adalah memahami wahyu dan mengoperasioanalkannya. Manusia hendaknya tidak terjebak dalam mempersoalkan kebenaran wahyu dan validitasnya, sebab hal itu hanya sekedar pemborosan energi dan kurang bermanfaat.
Adapun sumber ilmu yang kedua, yaitu akal. Akal manusia ditakdirkan dan disetting oleh Allah agar mampu menemukan pengetahuan. Berbagai perangkat kasar dan perangkat lunak telah Allah siapkan untuk tujuan itu. Sebab dalam Islam, akal adalah kunci penugasan manusia (manath at-taklif). Tanpa akal, manusia tidak dapat dibebani dengan dengan hukum-hukum syari’at.
Metode akal dalam menangkap pengetahuan melalui tiga jalur:
a.       Melalui indra yang dapat berupa penglihatan dan pendengaran. Informasi itu diteruskan ke akal dan diterjemahkannya secara benar.
b.      Melalui logika, seperti 3>2. Seseorang mustahil berada didua tempat dalam waktu yang sama.
c.       Melalui berita yang disampai oleh orang lain. Kebenaran pengetahuan ini tergantung pada kebenaran nara sumbernya. Dalam kaitan ini, Islam sangat berjasa merumuskan disiplin ilmu yang dapat menguji kebenaran suatu informasi. Ilmu ini dikenal dalam ilmu hadits dengan nama ‘ilmu al-jarh wa al-ta’dil[6].
Akal dalam al-Qur’an
Sebagai Risalah terakhir; al-Qur’an tidak pernah menentang eksistensi akal, melainkan justru mendukungnya dalam berbagai bentuk. Seruan al-Qur’an untuk berfikir diungkapkan dalam bentuk yang bervariasi, seperti: memandang secara seksama (nadzhar), berfikir (tafakur), merenungkan (tadabur), mengambil pelajaran (i’tibar), menyadari (tadzakur), dan mendalami pemahaman (tafaquh). Variasi ini semakin mengukuhkan bahwa Islam sangan memperhatikan harmoni dan kompatibilitas akal dan wahyu, karena menolak akal sama dengan menentang logika al-Qur’an[7].
Dalam  al-Qur'an,  secara khusus kata-kata  yang  berakar  pada  'aql  bertaburan  di berbagai  surat. Kata-kata: afala  ta'qilun  (Maka  tidakkah  kamu  menggunakan  akalmu?; Tidakkah  kamu  berfikir?)  terulang dalam  al-Al-Qur'an  tidak  kurang  dari  13  kali.  Kata  la'allakum  ta'qilun  (agar  kamu mengerti/memahami)  terulang  sekitar  8 kali;  li qaumin  ya'qilun  (untuk kaum yang menggunakan akalnya/memikirkan) sekitar 8 kali; belum lagi kata-kata na'qilu, ya'qiluna biha, ya'qiluha, takunu ta'qilun, dsb[8].
Searah dengan itu ayat-ayat qauliyyah (berkaitan dengan tasyri’) dan kauniyyah (alam) merupakan bukti-bukti bahwa eksistensi Tuhan dan dalam berbagai kondisi menjadi karunia besar bagi orang berakal dan berfikir[9]. Berikut adalah ayat-ayat yang mengajak pembacanya untuk berfikir dan menggunakan akalnya:

أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ . وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ . وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ . وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? . Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”[10]