BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna.
Hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah akal. Manusia diberi
kemampuan oleh Allah untuk berpikir. Akal yang dimiliki manusia digunakan untuk
memilih, mempertimbangkan, dan menentukan jalan pikirannya sendiri. Dengan
menggunakan akal, manusia mampu memahami Al-Qura’an yang diturunkan sebagai
wahyu oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW. Dengan akal pula, manusia mampu
menelaah sejarah islam dari masa ke masa dari masa lampau. Akal juga digunakan
untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Tak dapat dipungkiri, bahwa akal mempunyai kedudukan dalam
wilayah agama, yang penting dalam hal ini, menentukan dan menjelaskan
batasan-batasan akal, sebab kita meyakini bahwa hampir semua kaum muslim
berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama dan
penjelasan keyakinan agama secara argumentatif.
Akal dan wahyu digunakan oleh manusia untuk membahas ilmu
pengetahuan. Akal digunakan manusia untuk bernalar. Sedangkan wahyu digunakan
sebagai pedoman dan acuan dalam berpikir. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
merupakan salah satu hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Manusia
membutuhkan ilmu pengetahuan karena pada dasarnya manusia mempunyai suatu
anugerah terbesar yang diberikan Allah SWT yaitu akal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. AKAL
a. Pengertian
Akal
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab
al-‘Aql (العـقـل),
yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya
‘aqaluuh (عـقـلوه)
dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون)
24 ayat, na’qil (نعـقـل)
1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها)
1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون)
22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti. Maka dapat diambil
arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan
yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat
luas.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah
dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam
istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving
capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan
untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti
mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh berpendapat bahwa
akal adalah: suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah
yang membedakan manusia dari mahluk lain.
b. Fungsi Akal
1. Tolak ukur
akan kebenaran dan kebatilan.
2. Alat untuk
mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
3. Alat penemu
solusi ketika permasalahan datang.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal
adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal
yang akan dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya
dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Dan
Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna
kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada
pendapat dan akalah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Kekuatan Akal
1. Mengetahui
Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
2. Mengetahui
adanya kehidupan di akhirat.
3. Mengetahui
bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat
baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan
jahat.
4. Mengetahui
wajibnya manusia mengenal Tuhan.
5. Mengetahui
kewajiban berbuat baik dan kewajiban
pula menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6. Membuat
hukum-hukum yang membantu dalam melaksanakan kewajiban tersebut.
Kedudukan Akal dalam Islam
Oleh: Jajang Hidayatullah
Kedudukan akal dalam
Islam menempati posisi yang amat terhormat, melebihi agama-agama lain. Sebagai
risalah Ilahiyyah terakhir, Islam mempersyaratkan kewajiban menjalankan agama
bagi orang yang berakal. Artinya, orang yang hilang akalnya tidak diwajibkan
mengerjakan perintah atau menjauhi larangan-Nya (taklif). Dalam hadits,
Nabi Saw menginformasikan:
عَنْ
عَلِىٍّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ
حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ ».
“Pena diangkat (dibebaskan)
dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia bangun, [2] anak kecil
sampai mimpi basah (baligh) dan [3] orang gila sampai ia kembali sadar
(berakal).” (HR. Abu Daud, باب فِى
الْمَجْنُونِ يَسْرِقُ أَوْ يُصِيبُ حَدًّا. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih)
Muhammad Abu Zahrah
mengatakan, bahwa dasar taklif adalah akal dan pemahaman. Akal dan
pemahaman itulah yang menjadi landasan taklif. Beliau mengutip al-Amidy
yang mengatakan, “para ahli sepakat bahwa syarat mukallaf haruslah berakal dan
faham. Karena taklif tuntutan maka mustahil membebani sesuatu yang tidak
berakal dan tidak faham, seperti benda mati dan binatang. Menurutnya orang gila
atau anak-anak hanya mempunyai pemahaman global terhadap tuntutan tanpa pemahaman
yang rinci bahwa tuntutan itu merupakan perintah atau larangan yang mempunyai
dampak pahala atau siksa, atau tuntutan itu merupakan perintah Allah perintah
Allah Swt yang harus ditaati, maka statusnya memahami secara rinci sama halnya
dengan binatang atau benda mati yang tidak mampu memahami tuntutan dasar.”
(lihat Ushul fiqih karya Muhammad Abu Zahrah)
Dengan demikian bahwa
akal adalah syarat agar seseorang bisa memahami sesuatu, sehingga membuat
amalan menjadi baik dan sempurna. Oleh karena itu, akal yang baik saja yang
bisa mendapatkan taklif (beban syari’at) sehingga orang gila yang tidak
berakal tidak mendapat perintah shalat dan puasa. Seseorang yang tidak memiliki
akal adalah keadaan yang serba penuh kekurangan.
Definisi Akal
Ibnu mandzur dalam lisanul-Arab
menyatakan bahwa akal adalah sifat; 'uqila lahu shay'un berarti dijaga
atau diikat (hubisa) akalnya dan dibatasi. U'tuqila lisanuhu idha
hubisa wa muni'a l-kalam (u'tuqila lidahnya, jika ia dibatasi dan
dilarang berbicara). 'aqaltu l-ba'ir,
berarti saya telah mengikat keempat kaki
unta dan hal ini pun senada dengan al-Jarjani dalam kitabnya al-Ta’rifat dengan
tambahan bahwa akal itu adalah sesuatu yang mengikat hakikat berbagai hal; dan
itu tempat dikepala tetapi ada juga yang mengatakan adanya dalam hati.
Ibnu al-Anbari mengartikan akal dalam
syairnya sebagai sesuatu yang memberikan
kesabaran dan wejangan (maw'idzah) bagi
orang yang mempunyai kebutuhan (hajjah).
Sehingga dikatakan: al-aqil alladhi yahbisu nafsahu
wa yarudduha 'an hawaha (orang berakal adalah yang mampu
mengekang hawa nafsunya dan menolaknya). Maka, kata ma'qul (masuk akal)
berarti ma ta'qiluhu bi qalbika, yaitu sesuatu yang kamu nalar dengan
hati/kalbumu. Selanjutnya dijelaskan bahwa akal
berarti kepastian (verification, making sure,
certitude) dalam segala perkara. akal, karena dua alasan:
a. Mencegah
pemiliknya (manusia) untuk terjerumus kedalam jurang kehancuran.
b. Pembedaan
yang membedakan manusia dari semua hewan[1].
Makna
kata akal yang berarti suatu yang
terikat atau ikatan, hal ini diperkuat dengan hadits
'Adiy ibn Hatim, dimana beliau berkata:
"Ketika turun ayat (QS. 2:187)
sehingga menjadi jelas bagimu antara 'benang putih'
dan 'benang hitam', aku segera menyiapkan benang ('iqal)
hitam dan benang putih, lalu aku letakkan di
bawah bantal. Kemudian aku melihatnya di malam
hari, maka tidak jelas bagiku. Lalu aku
pergi ke Rasulullah SAW, aku pun menceritakan
hal itu kepada beliau. Maka beliau pun bersabda: Sesungguhnya
(ayat) itu (berarti) hitamnya malam dan terangnya siang"
Aqala menurut sebagian
orang adalah bentuk kekuatan untuk mentransfer ilmu; sehingga dengan kekuatan
akal tersebut manusia bisa mengambil faidah dari ilmunya itu. Amirul mukminin
telah berkata, “akal itu terdiri dari dua macam, yaitu akal dari tabi’at
manusia itu sendiri dan akal yang dihasilkan dari mendengar, pendidikan dsb.
Maka tidak bermanfaat dari apa yang kita dengar kalau kita tidak punya akal
secara tab’i. Seperti tidak bermanfaatnya mata kalau tidak ada cahaya
matahari”. Unsur pertama dalam akal, tergambar dalam sabda Nabi yang menyatakan
‘tidaklah Allah menciptakan makhluk yang paling mulia kecuali padanya
dikaruniai akal’ makanya kalau tidak terdapat unsur ini, dalam Islam
manusia tidak memiliki kewajiban (taklif). sedangkan unsur kedua dalam
akal, tergambar dalam sabda Rasul yang menyatakan ‘tidak ada seorng pun yang
paling utama berusaha mengenai sesuatu dari akalnya kecuali yang
mengantarkannya pada hidayah dan menolaknya pada hal-hal yang membuatnya murtad’.
Atau sebagaimana isyarat al-Qur’an ‘....dan tidak akan ada yang berakal
kecuali orang yang berilmu (al-Ankabut: 43)’. Makanya, orang kafir divonis
oleh Allah tidak berakal karena tidak memiliki unsur yang kedua ini, Allah Swt
berfirman ‘....(mereka orang-orang kafir) tuli, bisu dan buta maka mereka
tidak berakal (al-Baqarah: 171)’[2].
Dalam analisa
Al-Ghazali menurutnya akal memiliki banyak pengertian. Ia dapat berarti potensi
yang membedakan manusia dari binatang dan yang menjadikan manusia mampu
menerima berbagai pengetahuan teoritis. Akal juga berarti pengetahuan yang
dicerna oleh seorang anak yang telah mendekati usia dewasa. Misalnya, dua itu
lebih banyak dari satu. Makna ketiga dari akal menurut al-Ghazali adalah
pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengalaman yang dilaluinya
yang pada akhirnya dapat memperhalus budi pekertinya. Menurut kebiasaan orang
yang tidak berbudi pekerti yang baik dinamakan orang tidak berakal. Makna ke
empat dari akal adalah kekuatan insting yang menjadikan seseorang mengetahui
dampak semua persoalan yang dihadapinya, lalu mampu menekan hawa nafsunya serta
mengatasinya agar tidak terbawa larut olehnya[3].
Jadi, Akal sejatinya
akan kita fahami definisinya sejalan dengan memahami makna kebahasannya yaitu aqala
yang berarti tali pengikat. Ia adalah potensi manusiawi yang berfungsi sebagai
tali pengikat yang menghalanginya terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Akal
semacam itulah yang menjadi tujuan dan yang harus diusahakan untuk meraihnya,
karena yang demikian itulah yang akan menyelamatkan seseorang. Tanpa akal,
siapapun akan terjerumus walau memiliki pengetahuan teoritis yang sangat dalam[4].
Akal Merupakan Salah
Satu Sumber Ilmu
Dari segi
epistemologi pun Islam mempunyai rumusan tersendiri. Dalam karyanya, Syamsuddin
Arif menyatakan bahwa sumber pengetahuan Islam terdiri dari tiga sumber, yaitu
persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal sehat (ta’aqul)
serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar
shadiq), yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini sebagaimana disinyalir
dalam al-Qur’an; an-Nahl:78, Qaf: 37, al-A’raf: 179, al-Hajj: 46, Ali Imran:
138, al-Ma’idah: 15. Mengenai proses akal mencakup nalar (nazhar) dan
alur fikir (fikr). Dengan nalar dan alur fikir ini kita bisa
berartikulasi, menysusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi,
melakukan analogi, membuat putusan dan menarik kesimpulan[5].
inilah yang kemudian membedakan keilmuan Islam dengan Barat. Karena di Barat
sumber ilmu menghendaki hanya yang bersifat logis dan empiris saja.
Menurut Daud Rasyid,
dalam Islam sumber-sumber ilmu berasal dari wahyu dan akal. Wahyu adalah
informasi tentang sesuatu dari yang maha mengetahui yaitu Allah Swt. wahyu
Allah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dalam bentuk al-Qur’an (al-Wahyu
al-mathluw) dan sunnah Nabi Saw (al-Wahyu ghairu-mathluw). Ciri khas
wahyu itu adalah mengandung kebenaran muthlak yang tak perlu didiskusikan
kebenarannya. Menurut Daud Rasyid fungsi manusia dalam kaitan ini adalah
memahami wahyu dan mengoperasioanalkannya. Manusia hendaknya tidak terjebak
dalam mempersoalkan kebenaran wahyu dan validitasnya, sebab hal itu hanya
sekedar pemborosan energi dan kurang bermanfaat.
Adapun sumber ilmu
yang kedua, yaitu akal. Akal manusia ditakdirkan dan disetting oleh Allah agar
mampu menemukan pengetahuan. Berbagai perangkat kasar dan perangkat lunak telah
Allah siapkan untuk tujuan itu. Sebab dalam Islam, akal adalah kunci penugasan
manusia (manath at-taklif). Tanpa akal, manusia tidak dapat dibebani
dengan dengan hukum-hukum syari’at.
Metode akal dalam
menangkap pengetahuan melalui tiga jalur:
a.
Melalui indra yang
dapat berupa penglihatan dan pendengaran. Informasi itu diteruskan ke akal dan
diterjemahkannya secara benar.
b.
Melalui logika,
seperti 3>2. Seseorang mustahil berada didua tempat dalam waktu yang sama.
c.
Melalui berita yang
disampai oleh orang lain. Kebenaran pengetahuan ini tergantung pada kebenaran
nara sumbernya. Dalam kaitan ini, Islam sangat berjasa merumuskan disiplin ilmu
yang dapat menguji kebenaran suatu informasi. Ilmu ini dikenal dalam ilmu
hadits dengan nama ‘ilmu al-jarh wa al-ta’dil’[6].
Akal dalam al-Qur’an
Sebagai Risalah
terakhir; al-Qur’an tidak pernah menentang eksistensi akal, melainkan justru
mendukungnya dalam berbagai bentuk. Seruan al-Qur’an untuk berfikir diungkapkan
dalam bentuk yang bervariasi, seperti: memandang secara seksama (nadzhar),
berfikir (tafakur), merenungkan (tadabur), mengambil pelajaran (i’tibar),
menyadari (tadzakur), dan mendalami pemahaman (tafaquh). Variasi
ini semakin mengukuhkan bahwa Islam sangan memperhatikan harmoni dan
kompatibilitas akal dan wahyu, karena menolak akal sama dengan menentang logika
al-Qur’an[7].
Dalam
al-Qur'an, secara khusus kata-kata yang berakar
pada 'aql bertaburan di berbagai surat.
Kata-kata: afala ta'qilun (Maka tidakkah
kamu menggunakan akalmu?; Tidakkah kamu
berfikir?) terulang dalam al-Al-Qur'an tidak
kurang dari 13 kali. Kata la'allakum
ta'qilun (agar kamu mengerti/memahami) terulang
sekitar 8 kali; li qaumin ya'qilun (untuk kaum
yang menggunakan akalnya/memikirkan) sekitar 8 kali; belum lagi kata-kata na'qilu,
ya'qiluna biha, ya'qiluha, takunu ta'qilun, dsb[8].
Searah dengan itu
ayat-ayat qauliyyah (berkaitan dengan tasyri’) dan kauniyyah
(alam) merupakan bukti-bukti bahwa eksistensi Tuhan dan dalam berbagai kondisi
menjadi karunia besar bagi orang berakal dan berfikir[9].
Berikut adalah ayat-ayat yang mengajak pembacanya untuk berfikir dan
menggunakan akalnya:
أَفَلَا
يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ . وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ
رُفِعَتْ . وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ . وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ
سُطِحَتْ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan
unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? . Dan
gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”[10]