BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Dengan perkembangan zaman yang
semakin komplek dan majunya proses ilmu pengetahuan dan tehnologi akan selalu
membawa perubahan dalam aspek kehidupan, dan kini hal tersebut telah dirasakan
dan menyebabkan terjadinya suatu perubahan yang cukup pesat, baik dari segi
pendidikan, struktur ekonomi, sosial, budaya dan juga dari segi pola dan gaya
hidup, sehingga terjadi pergeseran suatu nilai baik buruk, khususnya yang
berkaitan dengan norma-norma agama.
Peningkatan mutu pendidikan
merupakan sasaran pembangunan dibidang pendidikan nasional dan merupakan bagian
integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara kaffah.
Secara historis pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia
sangat terkait dengan kegiatan dakwah islamiyah. Pendidikan Islam berperan
sebagai mediator dimana ajaran islam dapat disosoalisasikan kepada masyarakat dalam berbagai
tingkatannya. Melalui pendidikan inilah, masyarakat Indonesia dapat memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan Al-Qura’an dan
Al-Sunnah. Sehubungan dengan itu tingkat kedalaman pemahaman, penghayatan dan
pengamalan masyarakat terhadap ajaran
Islam amat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan islam yang diterimanya.
Bertolak dari kerangka tersebut
diatas, maka pendidikan Islam di Indonesia seringkali berhadapan dengan
berbagai problematika yang tidak ringan. Diketahui bahwa sebagai sebuah system
pendidikan Islam mengandung berbagai komponen yang antara satu dan lainnya
saling berkaitan. Komponen tersebugt meliputi landasan, tujuan, kurikulum,
kompetensi dan profesionalisme guru, pola hubungan guru dan murid, metodologi
pembelajaran , sarana dan prasarana, evaluasi, pembiayaan dan lain sebagainya.
Berbagai komponen yang terdapat dalam pendidikan ini sering berjalan apa
adanya, alami dan tradisional, karena dilakukan tanpa perencanaan konsep yang
matang. Akibat dari keadaan demikian, maka mutu pendidikan Islam seringkali
menunjujkan keadaan yang kurang mengembirakan.
Landasan dan dasar pendidikan Islam
yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah belum benar-benar digunakan sebagai mestinya. Hal
ini sebagai akibat belum adanya sarjana
dan pakar di Indonesia yang secara khusus mendalami pemahaman Al-Quran dan Al-Sunnah
dalam perspektif pendidikan Islam. Ummat Islam belum banyak mengetahui tentang
isi kandungan Al-Qur’an Al-Sunnah yang berhubungan dengan pendidikan Islam
belum berjalan diatas landasan dan dasar ajaran Islam itu sendiri.
Sebagai akibat dari kekurangan
tersebugt diatas, maka tujuan dan visi pendidikan Islam juga masih belum
berhasil dirumuskan dengan baik. Tujuan pendidikan Islam seringkali
diarahkan untuk menghasilkan
manusia-manusia yang hanya menguasi ilmu Islam saja, dan visinya diarakan untuk
mewujudkan manusia yang salih dalam arti
yang taat beribadah dan gemar beramal untuk tujuan akhirat saja. Akibatnya dari
keadaan yang demikian ini, maka lulusan pendidikan Islam hanya memiliki
kesempatan dan peluang yang terbatas, yaitu sebagai pengawal moral bangsa.
Mereka kurang mampu bersaing dan tidak mampu merebut peluang dan kesempatan
yang tersedia dalam memasuki lapangan kerja. Akibat lebih lanjut lulusan
pendidikan Islam semakin termarginalisasikan dan tak berdaya. Keadaan yang
demikian merupakan masalah besar yang perlu segera diatasi, lebih- lebih lagi
jika dihubungnkan dengan adanya persaingan yang makin kompetitif pada era
globalisasi.
2.
Rumusan
Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah
di atas, dapat ditarik rumusan masalah pokok yakni:
·
Bagaimanakah
konsep berpikir dalam al-Qur’an.
·
Bagaimanakah
penafsiran ayat-ayat berterm berpikir dalam Tafsir Ibnu Kaṡīr.
3.
Tujuan
Dan Manfaat Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini,
penulis bertujuan untuk:
a) Mengetahui
dan memahami konsep berpikir dalam al-Qur’an secara umum.
b) Mengetahui
bagaimana penafsiran Ibn Kaṡir terhadap ayat-ayat yang berterm berpikir dalam
Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm.
BAB
II
TINJAUAN TEORITIS
A. Telaah Pustaka
Pembahasan tentang tema berpikir
yang menunjuk pada akal sebagai alat utama untuk berpikir sebenarnya bukanlah
masalah baru di dalam kajian ilmiah keislaman. Dan sudah banyak ulama dan
sarjana yang telah membahasnya, baik dalam bentuk kitab, buku atau artikel.
Namun karena begitu menariknya tema ini, maka penulis mencoba membahas tema ini
disesuaikan dengan perkembangan zaman yang cara berpikir orang senantiasa
berbeda seiring dengan berjalannya waktu, perbedaan tempat dan pemahaman mereka
terhadap al-Qur’an.
Yūsuf Qarḍāwī dalam bukunya
‘al-‘Aqlu wa al-‘Ilmu fi al-Qur’ān al-Karīm’ (yang telah diterjemahkan oleh
Abdul Hayyi al-Kattani, dkk), menjelaskan keterkaitan antara al-Qur’an dengan
akal dan ilmu pengetahuan, serta rasionalitas dann keilmiahan al-Qur’an.
Al-Qur’an meletakkan akal sesuai dengan fungsi dan kedudukannya, tidak serta
merta menjadikannya sebaggai “Tuhan”, karena Allah swt menciptakan akal dalam
keadaaan terbatas.
Taufik Pasiak menguraikan
permasalahan tentang ‘aql ini dari sudut pandang yang berbeda, yaitu dari sudut
sains kedokteran dan sudut agama. Dia berusaha mempertemukan hasil kajian deduktif
berdasarkan al-Qur’an dan kajian induktif yang berkembang dalam ilmu
kedokteran. Dia juga memperkaya dengan literatur filsafat dan psikologi.
Sementara itu, mengenai tulisan
yang ada keterkaitannya dengan Tafsir Ibnu Kaṡīr di antaranya adalah ‘Konsep
Isrāf dalam Tafsir al-Qur’ān al-‘Azīm karya Ibnu kaṡīr’ yang ditulis oleh Aris
Muh. Sadzali yang di dalamnya menguraikan tentang Isrāf yang merupakan gejala
dari Itrāf (bermewah-mewahan) dengan melihat tentang ayat-ayat Isrāf yang dipaparkan dengan jelas dalam Tafsir
Ibnu kaṡīr.
Di samping itu, terdapat beberapa
tulisan yang terkait dengan tema dalam penelitian ini yang berbentuk skripsi,
di antaranya: “Kedudukan Akal dalam Beragama Menurut al-Qur’an,” yang
memaparkan tentang keterkaitan antara akal dengan agama, fungsi dan urgensi
akal untuk mencari kebenaran dalam beragama. Dan skripsi yang berjudul, “Akal
dan Wahyu dalam Pandangan ar-rāzī”, yang menjelaskan tentang kedudukan akal dan
wahyu. “Akal Menurut Pandangan al-Gazālī,” lebih memfokuskan kajian al-Gazālī
terhadap akal dalam perspektif teologi.
Ada juga tulisan yang berjudul,
“‘Aql dalam Tafsir Jamī’ al-Bayān ‘An Ta’wīl ay al-Qur’ān”, yang memaparkan
makna ‘aql beserta term yang semakna dengan ‘aql yang lebih menitikberatkan
pada segi linguistik, perdebatan tentang fungsi dan kedudukan ‘aql di kalangan
para teolog ataupun filosof.
Namun dalam penelitian ini, penulis
mencoba memaparkan tentang konsep berpikir yang ada dalam al-Qur’an dari
pandangan umum dan secara eksplisit menunjuk pada Tafsir Ibnu Kaṡīr yang lebih
menonjolkan corak Tafsir Bi al-Ma’ṡūr-nya.
B. Metode
Penelitian
1. Sumber
Data
Dalam penelitian ini ada dua sumber
data yang diperlukan yaitu sumber data primer dan data sekunder. Sumber data
primer yaitu sumber asli, merupakan suatu data pokok yang sesuai dengan
pembahasan yang akan dikaji, dalam hal ini adalah kitab Tafsir al-Qur’ān
al-‘Azīm karya Ibnu Kaṡīr . Sedangkan sumber data sekunder yaitu data yang
diperoleh dari data-data yang dikumpulkan selain sumber primer.[13]misalnya
buku-buku penunjang yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji.
2. Jenis
Data
Untuk penelitian dan pembahasan
dalam risalah ini penulis menggunakan jenis penelitian pustaka (Library
Research), yaitu penelitian yang obyek utamanya adalah buku-buku perpustakaan
dan literature-literatur lainnya.
3. Metode
Atau Pendekatan Yang Digunakan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Metode
Tafsir Mauḍū‘ī, yaitu tafsir tematik dengan cara menghimpun dan menyusun
seluruh ayat yang memiliki kesamaan arah, lalu menganalisisnyya dari berbagai
aspek untuk kemudian menyajikan hasil tafsiran ke dalam satu tema tertentu.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam metode
tafsir Maudū‘ī adalah sebagai berikut:
a.
Menetapkan masalah atau topik yang akan dikaji
b.
Menghimpun ayat-ayat yang membahas topik tersebut
c.
Menyusun urutan ayat sesuai dengan masa turunnya
d. Kajian
inni memerlukan bantuan tafsir tahlīlī
e.
Menyusun bahasan dalam suatu kerangka dan struktur yang padu
4. Teknik
Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode
dokumentasi, dari data dari sumber primer dan sekunder, setelah itu data yang
sudah ada kita kaji kemudian dipaparkan sesuai dengan bahasan penelitian. Dalam
hal ini mengumpulkan data tentang Tafsir al-Qur’ān al-‘Azīm karya Ibnu Kaṡīr.
5.
Analisis Data
Setelah data terkumpul dari hasil
pengumpulan data, kemudian diseleksi dan dirangkai ke dalam hubungan
fakta-fakta dengan melihat adanya suatu keterkaitan dan keteraturan data,
sehingga membentuk suatu pengertian yang dituangkan dalam bentuk analisis.
Adapun
dalam menganalisis tersebut penulis menggunakan pola berpikir:
a.
Deduktif, yaitu peneliti
berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum, kemudian peneliti menilai suatu
kejadian yang bersifat khusus
b.
Induktif, peneliti berangkat dari fakta-fakta yang khusus, yang konkret
kemudian ditarik pada suatu pengertian yang mempunyai sifat umum.
6. Metode
Penarikan Kesimpulan
Dalam penulisan kesimpulan,
penulisan risalah ini menggunakan metode induktif. Yaitu menarik sebuah
kesimpulan atas dasar data-data yang bersifat teoritis untuk suatu kesimpulan
fakta yang bersifat khusus. Dengan
menggunakan metode ini diharapkan kesimpulan akhir merupakan hasil penelitian
yang bersifat objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
C. Sistematika
Pembahasan
Secara garis besar, penyusunan
risalah ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pendahuluan, isi dan penutup.
Tiga bagian tersebut kemudian dikembangkan menjadi lima bab. Masing-maisng bab
terdiri dari beberapa kajian yang secara logis saling berhubungan dan merupakan
satu kesatuan.
Bab I yang merupakan pendahuluan, membicarakan tentang latar belakang
masalah yang menjadi alasan mengapa kajian
ini penyusun angkat sebagai topik kajian, rumusan masalah yang menjadi
kajian, kemudian dilanjutkan tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka,
metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II sebagai pengantar pada pembahasan pokok, penulis mendeskripsikan
tentang biografi Konsep Allubb menurut Al-Qur’an dan hadits.
BAB
III
PEMBAHASAN
KONSEP ALALBAB MENURUT AL-QUR’AN
DAN ASSUNAH
A.
Konsep
Dasar Menajemen Berbasis Ulul Albab
Dalam Al Quran, ulul albab adalah
seseorang dengan kualitas tertentu. Kata al-bab, merupakan kata jamak dari
al-lub, yang artinya otak, pikiran, intelek. Jadi seorang ulul al-bab adalah
seorang yang memiliki pemikiran yang lebih dari orang lain, baik karena
kecerdasan maupun intensitasnya. Dengan perkataan lain, ulul al-bab adalah
seorang pemikir, cendekiawan, cerdik-cendekia, atau seorang filosof yang
berfikir mendalam. Ulul Albab adalah istilah khusus yang dipakai al-Qur’an
untuk menyebut sekelompok manusia pilihan semacam intelektual. Istilah Ulul
Albab 16 kali disebut dalam al-Qur’an. Namun, Karena itulah para mufassir
kemudian memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang ulul albab, Imam
Nawawi, misalnya menyebut bahwa ulul albab adalah mereka yang berpengetahuan
suci, tidak hanyut dalam derasnya arus. Dan yang terpenting mereka mengerti,
mengusai dan mengamalkan ajaran Islam.
Sementara itu Ibn Mundzir
menafsirkan bahwa ulul albab sebagai orang yang bertakwa kepada Allah,
berpengetahuan tinggi dan mampu menyesuaikan diri di segala lapisan masyarakat,
elit ataupun marginal. Sebelumnya melihat tanda-tanda atau ciri-ciri ulul albab
yang disampaikan Al-Qur’an, ada baiknya kita diskusikan pengertian
istilah-istilah ini. Dalam bahasa Indonesia ada tiga istilah yang hampir sama
tapi sangat jauh berbeda artinya sarjana, ilmuwan dan intelektual. Sarjana diartikan
sebagai orang yang telah menempuh jenjang perguruan tinggi dengan menggondol
gelar sarjana. Jumlahnya amat banyak, karena setiap tahun perguruan tinggi
selalu memprodoksi sarjana, Ilmuan adalah mereka yang mendalami ilmunya
kemudian berusaha mengembangkannya, baik dengan pengamatan atau analisa
sendiri. Dalam berbagai kesempatan, seorang ilmuwan terkadang berbicara dengan
bahasa yang universal dan terkesan asing, sehingga sulit dipahami umatnya. Dari
sekian sarjana, hanya beberapa yang menjadi ilmuwan. Lainnya hanya sibuk dalam
kegiatan-kegiatan rutin. Adapun
intelektual adalah mereka yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan dan
cita-cita, yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. Maksudnya, intelektual
adalah orang yang menggarap sekaligus menggabungkan antara teori dengan
operasionalnya berdasarkan gagasan-gagasan normatif. Kaum intelektual adalah
mereka yang berusaha membentuk lingkungan dan masyarakatnya dengan
gagasan-gagasan analisis dan normatif. Ali Syariati memberi istilah intelektual
dengan Rausyanfikr yang artinya pemikir yang tercerahkan. Rausyanfikr tidak
hanya menemukan kenyataan atau menyajikan fakta sesuai apa adanya seperti kerja
ilmuwan tetapi berusaha menemukan kebenaran sekaligus memberikan penilaian
terhadap sesuatu bagaimana seharusnya. Selain itu, rausyafikr tidak bersikap
netral dalam pekerjaannya sebagaimana ilmuwan. Rausyanfikr terjun langsung
melibatkan diri pada idiologi. Ia adalah "fa'il" (penentudan pelaku)
sejarah, bukan "maf'ul" (objek) sejarah. Terjemahanyang paling tepat
untuk rausyanfikr, mungkin, adalah intelektual dalam arti yang
sebenar-benarnya. Menurut Jalaluddin Rahmad intelektual bukan sekedar sarjana
atau ilmuwan. Intelektual adalah orang yang benar-benar merasa terpanggil untuk
memperbaiki masyarakat dan bangsanya, menangkapaspirasinya, kemudian merumuskan
dan menawarkan strategi serta alternatif pemecahannya. Sudah barang tentu,
dalam hal ini mereka ikut terjun langsung dalam pelaksanaannya, bukan sekedar
menyodorkan konsep. Kaum intelektual sangat dekat dengan umatnya, sehingga
segala kebutuhan dan kesusahan umat dapat diketahui dengan jelas. yang
membedakan ulul albab dengan ilmuan atau intelektual lainnya adalah, seorang
ulul albab rajin bangun tengah malam untuk rukuk dan bersujud dihadapan Allah. Dengan
demikian, ulul albab adalah sama dengan intelektual plus ketakwaan, intelektual
plus kesalehan. Dalam diri ulul albab berpadu sifat-sifat ilmuan, sifat-sifat
intelektual, dan sifat orang yang dekat dengan Allah SWT. Dengan begitu,
konsep-konsep penyelesaian yang disodorkan benar-benar bisa menemui sasaran.
Tegasnya, intelektual bukan sekedar orang yang hanya dapat berbicara di mimbar
dan seminar atau kerja di belakang meja, melainkan orang yang mempunyai konsep
sekaligus mampu mengaplikasikannya. Dalam Islam, seorang intelektual bukan
sekedar orang yang sanggup melahirkan gagasan-gagasan normatif dan aplikasinya,
tetapi sekaligus juga memahami ajaran dan sejarahagamanya. Artinya, intelektual
muslim harus menguasai ajaran-ajaran agamanya.
Sejauh itu Al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan
secara definitive konsepnya tentang ulul albab. Ia hanya menyebutkan
tanda-tandanya saja. Ciri-ciri ulul albab yang disebut dalam Al-Qur’an adalah:
1.
Bersungguh-sungguh
menggali ilmu pengetahuan. Menyelidiki dan
mengamati semua rahasia wahyu (Al-Qur’an maupun gejala-gejala alam),
menangkap hukum-hukum yang tersirat di dalamnya, kemudian menerapkannya dalam
masyarakat demi kebaikan bersama.
"Sesungghnya, dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi
ulul albab" (QS, Ali Imran, 190).
2.
Selalu berpegang
pada kebaikan dan keadilan. Ulul Albab mampu memisahkan yang baik dari yang
jahat, untuk kemudian memilih yang baik. Selalu berpegang dan mempertahankan
kebaikan tersebut walau sendirian dan walau kejahatan didukung banyak orang.
"Tidak sama yang buruk (jahat) dengan baik (benar), meskipun kuantitas
yang jahat mengagumkan dirimu.
“Bertaqwalah
hai ulul albab, agar kamu beruntung" (QS,Al-Maidah, 100)[7]
3.
Teliti dan kritis
dalam menerima informasi, teori, proporsisi ataupun dalil yang dikemukakan
orang lain. Bagai sosok mujtahid, ulul albab tidak mau taqlid pada orang lain,
sehingga ia tidak mau menelan mentah-mentah apa yang diberikan orang lain.
4.
Sanggup
mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu. Sejarah adalah penafsiran
nyata dari suatu bentuk kehidupan.
5.
Ulul Albab
senansiasa "membakar" singgasana Allah dengan munajadnya ketika malam
telah sunyi. Menggoncang Arasy-Nya dengan segala rintihan, permohonan ampun, dan
pengaduan segala derita serta kebobrokan moral manusia di muka bumi.
6.
Tidak takut
kepada siapapun, kecuali Allah semata. Sadar bahwa semua perbuatan manusia akan
dimintai pertanggungan jawab, dengan bekal ilmunya, ulul albab tidak mau
berbuat semena-mena.
B.
Tujuan
Menajemen Berbasis Ulul Albab
Menjemen berbasis ulul albab
bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan dalam
iman dan takwa, tampaknya seorang ulul-albab tak jauh berbeda dengan seorang
intelektual; ini jika dilihat dari beberapa tanda ulul-albab yang telah
disebutkan seperti: bersungguh-sungguh mempelajari ilmu, mau mempertahankan
keyakinannya, dan merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Namun
dalam ayat lain, Allah swt dengan jelas membedakan seorang ulul-albab dengan
intelektual:
“Apakah
orang yang bangun di tengah malam, lalu
bersujud dan berdiri karena takut menghadapi hari akhirat, dan mengharapkan
rahmat Tuhannya: samakah orang yang berilmu seperti itu dengan orang-orang yang
tidak berilmu dan tidak memperoleh peringatan seperti itu kecuali ulul-albab.”
(QS. Az zumar:9)
Dengan merujuk kepada firman Allah di atas, inilah
“tanda khas” yang
membedakan ulul-albab dengan ilmuwan atau
intelektual lainnya. Ulul-albab rajin bangun tengah malam untuk bersujud dan
rukuk di hadapan Allah. Dia merintih pada waktu dini hari, mengajukan segala
derita dan segala permohonan ampunan kepada Allah Swt, semata-mata hanya
mengharapkan rahmat-Nya.
Tanda khas yang lain disebutkan dalam Al-Quran:
“Dia zikir
kepada Allah dalam keadaan berdiri, dalam keadaan duduk, dan keadaan berbaring.” (QS 3:191)
Kalau dapat saya simpulkan dalam satu rumus, maka
ulul-albab adalah sama dengan intelektual plus ketakwaan, intelektual plus
kesalehan. Di dalam diri ulul-albab berpadu sifat-sifat ilmuwan, sifat-sifat
intelektual, dan sifat orang yang dekat dengan Allah swt. Sebetulnya Islam
mengharapkan bahwa dari setiap jenjang pendidikan lahir ulul-albab, bukan
sekadar sarjana yang tidak begitu banyak gunanya, kecuali untuk mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan rutin. Islam mengharapkan dari jenjang-jenjang pendidikan
lahir ilmuwan yang intelektual dan yang sekaligus ulul-albab.
C.
Manfaat
Menajemen Berbasis Ulul Albab
Sosok manusia ulû al-albâb adalah
orang yang mengedepankan dzikr, fikr dan amal shaleh. Ia memiliki ilmu yang
luas, pandangan mata yang tajam, otak yang cerdas, hati yang lembut dan
semangat serta jiwa pejuang (jihad di jalan Allah) dengan sebenar-benarnya
perjuangan. Ia bukan manusia sembarangan, kehadirannya di muka bumi sebagai
pemimpin menegakkan yang hak dan menjauhkan kebatilan. Ulû al-albâb adalah manusia yang bertauhid.
Kalimah syahadah sebagai pegangan pokoknya, “Asyhadu an la ilâha illâ Allâh, wa
asyhadu anna Muhammad Rasûl Allâh.” Sebagai penyandang tauhid, ia berpandangan
bahwa tidak terdapat kekuatan di muka bumi ini selain Allah. Semua makhluk
manusia berposisi sama. Jika terdapat seseorang atau sekelompok/sejumlah orang
dipandang lebih mulia, adalah oleh karena ia atau mereka telah menyandang ilmu,
iman dan amal shaleh (taqwa). Penyandang derajat ulû al-albâb tidak akan takut
dan merasa rendah di hadapan siapapun sesama manusia. Kelebihan seseorang
berupa kekuasaan, kekayaan, keturunan/nasab dan keindahan/ kekuatan tubuh tidak
menjadikannya ia lebih mulia dari pada yang lain. Mencari ilmu bukan sebatas
untuk memperoleh ijazah dan kemudahan dalam mencari pekerjaan dan rizki. Ulû
al-albâb selalu yakin pada janji Allah bahwa rizki seseorang selalu berada di
bawah keputusan Tuhan. Tidak selayaknya seseorang merisaukan terhadap rizki dan
jenis pekerjaan yang akan diperoleh. Kebahagiaan bukan semata-mata terletak
pada keberhasilan mengumpulkan rizki, tetapi pada kedekatan dengan Yang Maha
Kuasa, Allah swt. Mahasiswa mencari ilmu pengetahuan lewat observasi,
eksperimen dan membaca berbagai literatur bukan semata-mata untuk memperoleh
indeks prestasi (IP) dan/atau sertifikat/ijazah, apalagi dikaitkan untuk
mendapatkan pekerjaan dan rizki, tetapi adalah kewajiban agar menyandang
derajad ulû al-albâb.
Manfaat menajemen pendidikan berbasis ulul albab di
perguruan tinggi diarahkan untuk menjadikan seluruh mahasiswanya :
1.
Berilmu pengetahuan yang luas,
2.
mampu melihat/membaca fenomena alam dan sosial secara tepat,
3.
Memiliki otak yang cerdas,
4.
berhati lembut dan bersemangat
juang tinggi karena Allah sebagai pengejawantahan amal shaleh.
Jika kelima kekuatan ini berhasil dimiliki oleh
siapa saja yang belajar di kampus ini, artinya pendidikan ulû al-albâb sudah
dipandang berhasil. Sebab, dengan ciri-ciri itu seseorang diharapkan akan
memiliki kekokohan akidah dan kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan
ilmu dan kematangan profesional.
D.
Implementasi
Menajemen Berbasis Ulul Albab
Manajemen Pengelolaan dan Pengembangan Kampus Al-Qur’an bagi umat Islam adalah petunjuk
segala kehidupan, tak terkecuali dalam mengembangkan organisasi pendidikan yang
melibatkan orang banyak. Membangun kampus sama artinya dengan membangun orang,
baik dari sisi karakter, perilaku, keilmuan maupun ketrampilan. Mengatur orang banyak dengan berbagai
sifatnya harus menggunakan pendekatan kemanusiaan. Sebab, manusia selain
memiliki potensi maslahah, sekaligus juga menyandang potensi sifat-sifat
mafsadah. Kedua sifat yang berlawanan itu tidak akan dapat dihilangkan, oleh
karena itu harus disalurkan pada hal yang menguntungkan. Selanjutnya harus dibedakan antara manajemen
pengelolaan kampus dan manajemen pengembangan kampus. Manajemen pengelolaan
kampus lebih tertuju pada penataan atau pengaturan terhadap seluruh kegiatan
pelayanan pendidikan. Sedangkan manajemen pengembangan kampus lebih diarahkan
pada upaya menumbuh-kembangkan kampus agar tahap demi tahap mengalami kemajuan.