Jumat, 27 Desember 2013

KONSEP ALALBAB MENURUT AL-QUR’AN DAN ASSUNAH



BAB I
PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang
Dengan perkembangan zaman yang semakin komplek dan majunya proses ilmu pengetahuan dan tehnologi akan selalu membawa perubahan dalam aspek kehidupan, dan kini hal tersebut telah dirasakan dan menyebabkan terjadinya suatu perubahan yang cukup pesat, baik dari segi pendidikan, struktur ekonomi, sosial, budaya dan juga dari segi pola dan gaya hidup, sehingga terjadi pergeseran suatu nilai baik buruk, khususnya yang berkaitan dengan norma-norma agama.
Peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan dibidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara kaffah. Secara historis pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sangat terkait dengan kegiatan dakwah islamiyah. Pendidikan Islam berperan sebagai mediator dimana ajaran islam dapat disosoalisasikan  kepada masyarakat dalam berbagai tingkatannya. Melalui pendidikan inilah, masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan Al-Qura’an dan Al-Sunnah. Sehubungan dengan itu tingkat kedalaman pemahaman, penghayatan dan pengamalan  masyarakat terhadap ajaran Islam amat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan islam yang diterimanya.
Bertolak dari kerangka tersebut diatas, maka pendidikan Islam di Indonesia seringkali berhadapan dengan berbagai problematika yang tidak ringan. Diketahui bahwa sebagai sebuah system pendidikan Islam mengandung berbagai komponen yang antara satu dan lainnya saling berkaitan. Komponen tersebugt meliputi landasan, tujuan, kurikulum, kompetensi dan profesionalisme guru, pola hubungan guru dan murid, metodologi pembelajaran , sarana dan prasarana, evaluasi, pembiayaan dan lain sebagainya. Berbagai komponen yang terdapat dalam pendidikan ini sering berjalan apa adanya, alami dan tradisional, karena dilakukan tanpa perencanaan konsep yang matang. Akibat dari keadaan demikian, maka mutu pendidikan Islam seringkali menunjujkan keadaan yang kurang mengembirakan.
Landasan dan dasar pendidikan Islam yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah belum benar-benar digunakan sebagai mestinya. Hal ini  sebagai akibat belum adanya sarjana dan pakar di Indonesia yang secara khusus mendalami pemahaman Al-Quran dan Al-Sunnah dalam perspektif pendidikan Islam. Ummat Islam belum banyak mengetahui tentang isi kandungan Al-Qur’an Al-Sunnah yang berhubungan dengan pendidikan Islam belum berjalan diatas landasan dan dasar ajaran Islam itu sendiri.
Sebagai akibat dari kekurangan tersebugt diatas, maka tujuan dan visi pendidikan Islam juga masih belum berhasil dirumuskan dengan baik. Tujuan pendidikan Islam seringkali diarahkan  untuk menghasilkan manusia-manusia yang hanya menguasi ilmu Islam saja, dan visinya diarakan untuk mewujudkan manusia yang salih  dalam arti yang taat beribadah dan gemar beramal untuk tujuan akhirat saja. Akibatnya dari keadaan yang demikian ini, maka lulusan pendidikan Islam hanya memiliki kesempatan dan peluang yang terbatas, yaitu sebagai pengawal moral bangsa. Mereka kurang mampu bersaing dan tidak mampu merebut peluang dan kesempatan yang tersedia dalam memasuki lapangan kerja. Akibat lebih lanjut lulusan pendidikan Islam semakin termarginalisasikan dan tak berdaya. Keadaan yang demikian merupakan masalah besar yang perlu segera diatasi, lebih- lebih lagi jika dihubungnkan dengan adanya persaingan yang makin kompetitif pada era globalisasi.
2.        Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah di atas, dapat ditarik rumusan masalah pokok yakni:
·        Bagaimanakah konsep berpikir dalam al-Qur’an.
·        Bagaimanakah penafsiran ayat-ayat berterm berpikir dalam Tafsir Ibnu Kaṡīr.


3.        Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis bertujuan untuk:
a)      Mengetahui dan memahami konsep berpikir dalam al-Qur’an secara umum.
b)      Mengetahui bagaimana penafsiran Ibn Kaṡir terhadap ayat-ayat yang berterm berpikir dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm.

















BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.       Telaah Pustaka
Pembahasan tentang tema berpikir yang menunjuk pada akal sebagai alat utama untuk berpikir sebenarnya bukanlah masalah baru di dalam kajian ilmiah keislaman. Dan sudah banyak ulama dan sarjana yang telah membahasnya, baik dalam bentuk kitab, buku atau artikel. Namun karena begitu menariknya tema ini, maka penulis mencoba membahas tema ini disesuaikan dengan perkembangan zaman yang cara berpikir orang senantiasa berbeda seiring dengan berjalannya waktu, perbedaan tempat dan pemahaman mereka terhadap al-Qur’an.
Yūsuf Qarḍāwī dalam bukunya ‘al-‘Aqlu wa al-‘Ilmu fi al-Qur’ān al-Karīm’ (yang telah diterjemahkan oleh Abdul Hayyi al-Kattani, dkk), menjelaskan keterkaitan antara al-Qur’an dengan akal dan ilmu pengetahuan, serta rasionalitas dann keilmiahan al-Qur’an. Al-Qur’an meletakkan akal sesuai dengan fungsi dan kedudukannya, tidak serta merta menjadikannya sebaggai “Tuhan”, karena Allah swt menciptakan akal dalam keadaaan terbatas.
Taufik Pasiak menguraikan permasalahan tentang ‘aql ini dari sudut pandang yang berbeda, yaitu dari sudut sains kedokteran dan sudut agama. Dia berusaha mempertemukan hasil kajian deduktif berdasarkan al-Qur’an dan kajian induktif yang berkembang dalam ilmu kedokteran. Dia juga memperkaya dengan literatur filsafat dan psikologi.
Sementara itu, mengenai tulisan yang ada keterkaitannya dengan Tafsir Ibnu Kaṡīr di antaranya adalah ‘Konsep Isrāf dalam Tafsir al-Qur’ān al-‘Azīm karya Ibnu kaṡīr’ yang ditulis oleh Aris Muh. Sadzali yang di dalamnya menguraikan tentang Isrāf yang merupakan gejala dari Itrāf (bermewah-mewahan) dengan melihat tentang ayat-ayat Isrāf  yang dipaparkan dengan jelas dalam Tafsir Ibnu kaṡīr.
Di samping itu, terdapat beberapa tulisan yang terkait dengan tema dalam penelitian ini yang berbentuk skripsi, di antaranya: “Kedudukan Akal dalam Beragama Menurut al-Qur’an,” yang memaparkan tentang keterkaitan antara akal dengan agama, fungsi dan urgensi akal untuk mencari kebenaran dalam beragama. Dan skripsi yang berjudul, “Akal dan Wahyu dalam Pandangan ar-rāzī”, yang menjelaskan tentang kedudukan akal dan wahyu. “Akal Menurut Pandangan al-Gazālī,” lebih memfokuskan kajian al-Gazālī terhadap akal dalam perspektif teologi.
Ada juga tulisan yang berjudul, “‘Aql dalam Tafsir Jamī’ al-Bayān ‘An Ta’wīl ay al-Qur’ān”, yang memaparkan makna ‘aql beserta term yang semakna dengan ‘aql yang lebih menitikberatkan pada segi linguistik, perdebatan tentang fungsi dan kedudukan ‘aql di kalangan para teolog ataupun filosof.
Namun dalam penelitian ini, penulis mencoba memaparkan tentang konsep berpikir yang ada dalam al-Qur’an dari pandangan umum dan secara eksplisit menunjuk pada Tafsir Ibnu Kaṡīr yang lebih menonjolkan corak Tafsir Bi al-Ma’ṡūr-nya.
B.       Metode Penelitian
1.      Sumber Data
Dalam penelitian ini ada dua sumber data yang diperlukan yaitu sumber data primer dan data sekunder. Sumber data primer yaitu sumber asli, merupakan suatu data pokok yang sesuai dengan pembahasan yang akan dikaji, dalam hal ini adalah kitab Tafsir al-Qur’ān al-‘Azīm karya Ibnu Kaṡīr . Sedangkan sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan selain sumber primer.[13]misalnya buku-buku penunjang yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji.
2.      Jenis Data
Untuk penelitian dan pembahasan dalam risalah ini penulis menggunakan jenis penelitian pustaka (Library Research), yaitu penelitian yang obyek utamanya adalah buku-buku perpustakaan dan literature-literatur lainnya.
3.      Metode Atau Pendekatan Yang Digunakan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Metode Tafsir Mauḍū‘ī, yaitu tafsir tematik dengan cara menghimpun dan menyusun seluruh ayat yang memiliki kesamaan arah, lalu menganalisisnyya dari berbagai aspek untuk kemudian menyajikan hasil tafsiran ke dalam satu tema tertentu.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam metode tafsir Maudū‘ī adalah sebagai berikut:
a.       Menetapkan masalah atau topik yang akan dikaji
b.      Menghimpun ayat-ayat yang membahas topik tersebut
c.       Menyusun urutan ayat sesuai dengan masa turunnya
d.      Kajian inni memerlukan bantuan tafsir tahlīlī
e.       Menyusun bahasan dalam suatu kerangka dan struktur yang padu
4.      Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, dari data dari sumber primer dan sekunder, setelah itu data yang sudah ada kita kaji kemudian dipaparkan sesuai dengan bahasan penelitian. Dalam hal ini mengumpulkan data tentang Tafsir al-Qur’ān al-‘Azīm karya Ibnu Kaṡīr.
5.      Analisis Data
Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, kemudian diseleksi dan dirangkai ke dalam hubungan fakta-fakta dengan melihat adanya suatu keterkaitan dan keteraturan data, sehingga membentuk suatu pengertian yang dituangkan dalam bentuk analisis.
      Adapun dalam menganalisis tersebut penulis menggunakan pola berpikir:
a.       Deduktif,  yaitu peneliti berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum, kemudian peneliti menilai suatu kejadian yang bersifat khusus
b.      Induktif, peneliti berangkat dari fakta-fakta yang khusus, yang konkret kemudian ditarik pada suatu pengertian yang mempunyai sifat umum.
6.      Metode Penarikan Kesimpulan
Dalam penulisan kesimpulan, penulisan risalah ini menggunakan metode induktif. Yaitu menarik sebuah kesimpulan atas dasar data-data yang bersifat teoritis untuk suatu kesimpulan fakta yang bersifat khusus.  Dengan menggunakan metode ini diharapkan kesimpulan akhir merupakan hasil penelitian yang bersifat objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
C.       Sistematika Pembahasan
Secara garis besar, penyusunan risalah ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Tiga bagian tersebut kemudian dikembangkan menjadi lima bab. Masing-maisng bab terdiri dari beberapa kajian yang secara logis saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan.
            Bab I yang merupakan pendahuluan, membicarakan tentang latar belakang masalah yang menjadi alasan mengapa kajian  ini penyusun angkat sebagai topik kajian, rumusan masalah yang menjadi kajian, kemudian dilanjutkan tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
            Bab II sebagai pengantar pada pembahasan pokok, penulis mendeskripsikan tentang biografi Konsep Allubb menurut Al-Qur’an dan hadits.








BAB III
PEMBAHASAN
KONSEP ALALBAB MENURUT AL-QUR’AN DAN ASSUNAH
A.     Konsep Dasar Menajemen Berbasis Ulul Albab   
Dalam Al Quran, ulul albab adalah seseorang dengan kualitas tertentu. Kata al-bab, merupakan kata jamak dari al-lub, yang artinya otak, pikiran, intelek. Jadi seorang ulul al-bab adalah seorang yang memiliki pemikiran yang lebih dari orang lain, baik karena kecerdasan maupun intensitasnya. Dengan perkataan lain, ulul al-bab adalah seorang pemikir, cendekiawan, cerdik-cendekia, atau seorang filosof yang berfikir mendalam. Ulul Albab adalah istilah khusus yang dipakai al-Qur’an untuk menyebut sekelompok manusia pilihan semacam intelektual. Istilah Ulul Albab 16 kali disebut dalam al-Qur’an. Namun, Karena itulah para mufassir kemudian memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang ulul albab, Imam Nawawi, misalnya menyebut bahwa ulul albab adalah mereka yang berpengetahuan suci, tidak hanyut dalam derasnya arus. Dan yang terpenting mereka mengerti, mengusai dan mengamalkan ajaran Islam.
Sementara itu Ibn Mundzir menafsirkan bahwa ulul albab sebagai orang yang bertakwa kepada Allah, berpengetahuan tinggi dan mampu menyesuaikan diri di segala lapisan masyarakat, elit ataupun marginal. Sebelumnya melihat tanda-tanda atau ciri-ciri ulul albab yang disampaikan Al-Qur’an, ada baiknya kita diskusikan pengertian istilah-istilah ini. Dalam bahasa Indonesia ada tiga istilah yang hampir sama tapi sangat jauh berbeda artinya sarjana, ilmuwan dan intelektual. Sarjana diartikan sebagai orang yang telah menempuh jenjang perguruan tinggi dengan menggondol gelar sarjana. Jumlahnya amat banyak, karena setiap tahun perguruan tinggi selalu memprodoksi sarjana, Ilmuan adalah mereka yang mendalami ilmunya kemudian berusaha mengembangkannya, baik dengan pengamatan atau analisa sendiri. Dalam berbagai kesempatan, seorang ilmuwan terkadang berbicara dengan bahasa yang universal dan terkesan asing, sehingga sulit dipahami umatnya. Dari sekian sarjana, hanya beberapa yang menjadi ilmuwan. Lainnya hanya sibuk dalam kegiatan-kegiatan rutin.  Adapun intelektual adalah mereka yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan dan cita-cita, yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. Maksudnya, intelektual adalah orang yang menggarap sekaligus menggabungkan antara teori dengan operasionalnya berdasarkan gagasan-gagasan normatif. Kaum intelektual adalah mereka yang berusaha membentuk lingkungan dan masyarakatnya dengan gagasan-gagasan analisis dan normatif. Ali Syariati memberi istilah intelektual dengan Rausyanfikr yang artinya pemikir yang tercerahkan. Rausyanfikr tidak hanya menemukan kenyataan atau menyajikan fakta sesuai apa adanya seperti kerja ilmuwan tetapi berusaha menemukan kebenaran sekaligus memberikan penilaian terhadap sesuatu bagaimana seharusnya. Selain itu, rausyafikr tidak bersikap netral dalam pekerjaannya sebagaimana ilmuwan. Rausyanfikr terjun langsung melibatkan diri pada idiologi. Ia adalah "fa'il" (penentudan pelaku) sejarah, bukan "maf'ul" (objek) sejarah. Terjemahanyang paling tepat untuk rausyanfikr, mungkin, adalah intelektual dalam arti yang sebenar-benarnya. Menurut Jalaluddin Rahmad intelektual bukan sekedar sarjana atau ilmuwan. Intelektual adalah orang yang benar-benar merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakat dan bangsanya, menangkapaspirasinya, kemudian merumuskan dan menawarkan strategi serta alternatif pemecahannya. Sudah barang tentu, dalam hal ini mereka ikut terjun langsung dalam pelaksanaannya, bukan sekedar menyodorkan konsep. Kaum intelektual sangat dekat dengan umatnya, sehingga segala kebutuhan dan kesusahan umat dapat diketahui dengan jelas. yang membedakan ulul albab dengan ilmuan atau intelektual lainnya adalah, seorang ulul albab rajin bangun tengah malam untuk rukuk dan bersujud dihadapan Allah. Dengan demikian, ulul albab adalah sama dengan intelektual plus ketakwaan, intelektual plus kesalehan. Dalam diri ulul albab berpadu sifat-sifat ilmuan, sifat-sifat intelektual, dan sifat orang yang dekat dengan Allah SWT. Dengan begitu, konsep-konsep penyelesaian yang disodorkan benar-benar bisa menemui sasaran. Tegasnya, intelektual bukan sekedar orang yang hanya dapat berbicara di mimbar dan seminar atau kerja di belakang meja, melainkan orang yang mempunyai konsep sekaligus mampu mengaplikasikannya. Dalam Islam, seorang intelektual bukan sekedar orang yang sanggup melahirkan gagasan-gagasan normatif dan aplikasinya, tetapi sekaligus juga memahami ajaran dan sejarahagamanya. Artinya, intelektual muslim harus menguasai ajaran-ajaran agamanya.
Sejauh itu Al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan secara definitive konsepnya tentang ulul albab. Ia hanya menyebutkan tanda-tandanya saja. Ciri-ciri ulul albab yang disebut dalam Al-Qur’an adalah:
1.        Bersungguh-sungguh menggali ilmu pengetahuan. Menyelidiki dan    mengamati semua rahasia wahyu (Al-Qur’an maupun gejala-gejala alam), menangkap hukum-hukum yang tersirat di dalamnya, kemudian menerapkannya dalam masyarakat demi kebaikan bersama.
"Sesungghnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi ulul albab" (QS, Ali Imran, 190).
2.        Selalu berpegang pada kebaikan dan keadilan. Ulul Albab mampu memisahkan yang baik dari yang jahat, untuk kemudian memilih yang baik. Selalu berpegang dan mempertahankan kebaikan tersebut walau sendirian dan walau kejahatan didukung banyak orang. "Tidak sama yang buruk (jahat) dengan baik (benar), meskipun kuantitas yang jahat mengagumkan dirimu.
 “Bertaqwalah hai ulul albab, agar kamu beruntung" (QS,Al-Maidah, 100)[7]
3.        Teliti dan kritis dalam menerima informasi, teori, proporsisi ataupun dalil yang dikemukakan orang lain. Bagai sosok mujtahid, ulul albab tidak mau taqlid pada orang lain, sehingga ia tidak mau menelan mentah-mentah apa yang diberikan orang lain.
4.        Sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu. Sejarah adalah penafsiran nyata dari suatu bentuk kehidupan.
5.        Ulul Albab senansiasa "membakar" singgasana Allah dengan munajadnya ketika malam telah sunyi. Menggoncang Arasy-Nya dengan segala rintihan, permohonan ampun, dan pengaduan segala derita serta kebobrokan moral manusia di muka bumi.
6.        Tidak takut kepada siapapun, kecuali Allah semata. Sadar bahwa semua perbuatan manusia akan dimintai pertanggungan jawab, dengan bekal ilmunya, ulul albab tidak mau berbuat semena-mena.

B.     Tujuan Menajemen Berbasis Ulul Albab
Menjemen berbasis ulul albab bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan dalam iman dan takwa, tampaknya seorang ulul-albab tak jauh berbeda dengan seorang intelektual; ini jika dilihat dari beberapa tanda ulul-albab yang telah disebutkan seperti: bersungguh-sungguh mempelajari ilmu, mau mempertahankan keyakinannya, dan merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Namun dalam ayat lain, Allah swt dengan jelas membedakan seorang ulul-albab dengan intelektual:
  “Apakah orang  yang bangun di tengah malam, lalu bersujud dan berdiri karena takut menghadapi hari akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya: samakah orang yang berilmu seperti itu dengan orang-orang yang tidak berilmu dan tidak memperoleh peringatan seperti itu kecuali ulul-albab.” (QS. Az zumar:9)
Dengan merujuk kepada firman Allah di atas, inilah “tanda khas” yang
membedakan ulul-albab dengan ilmuwan atau intelektual lainnya. Ulul-albab rajin bangun tengah malam untuk bersujud dan rukuk di hadapan Allah. Dia merintih pada waktu dini hari, mengajukan segala derita dan segala permohonan ampunan kepada Allah Swt, semata-mata hanya mengharapkan rahmat-Nya.
Tanda khas yang lain disebutkan dalam Al-Quran:
 “Dia zikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, dalam keadaan duduk, dan   keadaan berbaring.” (QS 3:191)
Kalau dapat saya simpulkan dalam satu rumus, maka ulul-albab adalah sama dengan intelektual plus ketakwaan, intelektual plus kesalehan. Di dalam diri ulul-albab berpadu sifat-sifat ilmuwan, sifat-sifat intelektual, dan sifat orang yang dekat dengan Allah swt. Sebetulnya Islam mengharapkan bahwa dari setiap jenjang pendidikan lahir ulul-albab, bukan sekadar sarjana yang tidak begitu banyak gunanya, kecuali untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutin. Islam mengharapkan dari jenjang-jenjang pendidikan lahir ilmuwan yang intelektual dan yang sekaligus ulul-albab.
C.     Manfaat Menajemen Berbasis Ulul Albab
Sosok manusia ulû al-albâb adalah orang yang mengedepankan dzikr, fikr dan amal shaleh. Ia memiliki ilmu yang luas, pandangan mata yang tajam, otak yang cerdas, hati yang lembut dan semangat serta jiwa pejuang (jihad di jalan Allah) dengan sebenar-benarnya perjuangan. Ia bukan manusia sembarangan, kehadirannya di muka bumi sebagai pemimpin menegakkan yang hak dan menjauhkan kebatilan.  Ulû al-albâb adalah manusia yang bertauhid. Kalimah syahadah sebagai pegangan pokoknya, “Asyhadu an la ilâha illâ Allâh, wa asyhadu anna Muhammad Rasûl Allâh.” Sebagai penyandang tauhid, ia berpandangan bahwa tidak terdapat kekuatan di muka bumi ini selain Allah. Semua makhluk manusia berposisi sama. Jika terdapat seseorang atau sekelompok/sejumlah orang dipandang lebih mulia, adalah oleh karena ia atau mereka telah menyandang ilmu, iman dan amal shaleh (taqwa). Penyandang derajat ulû al-albâb tidak akan takut dan merasa rendah di hadapan siapapun sesama manusia. Kelebihan seseorang berupa kekuasaan, kekayaan, keturunan/nasab dan keindahan/ kekuatan tubuh tidak menjadikannya ia lebih mulia dari pada yang lain. Mencari ilmu bukan sebatas untuk memperoleh ijazah dan kemudahan dalam mencari pekerjaan dan rizki. Ulû al-albâb selalu yakin pada janji Allah bahwa rizki seseorang selalu berada di bawah keputusan Tuhan. Tidak selayaknya seseorang merisaukan terhadap rizki dan jenis pekerjaan yang akan diperoleh. Kebahagiaan bukan semata-mata terletak pada keberhasilan mengumpulkan rizki, tetapi pada kedekatan dengan Yang Maha Kuasa, Allah swt. Mahasiswa mencari ilmu pengetahuan lewat observasi, eksperimen dan membaca berbagai literatur bukan semata-mata untuk memperoleh indeks prestasi (IP) dan/atau sertifikat/ijazah, apalagi dikaitkan untuk mendapatkan pekerjaan dan rizki, tetapi adalah kewajiban agar menyandang derajad ulû al-albâb.
Manfaat menajemen pendidikan berbasis ulul albab di perguruan tinggi diarahkan untuk menjadikan seluruh mahasiswanya :
1.        Berilmu pengetahuan yang luas,
2.        mampu melihat/membaca fenomena alam dan sosial secara tepat,
3.        Memiliki otak yang cerdas,
4.        berhati lembut dan  bersemangat juang tinggi karena Allah sebagai pengejawantahan amal shaleh.
Jika kelima kekuatan ini berhasil dimiliki oleh siapa saja yang belajar di kampus ini, artinya pendidikan ulû al-albâb sudah dipandang berhasil. Sebab, dengan ciri-ciri itu seseorang diharapkan akan memiliki kekokohan akidah dan kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan profesional.
D.    Implementasi Menajemen Berbasis Ulul Albab
Manajemen Pengelolaan dan Pengembangan Kampus  Al-Qur’an bagi umat Islam adalah petunjuk segala kehidupan, tak terkecuali dalam mengembangkan organisasi pendidikan yang melibatkan orang banyak. Membangun kampus sama artinya dengan membangun orang, baik dari sisi karakter, perilaku, keilmuan maupun ketrampilan.  Mengatur orang banyak dengan berbagai sifatnya harus menggunakan pendekatan kemanusiaan. Sebab, manusia selain memiliki potensi maslahah, sekaligus juga menyandang potensi sifat-sifat mafsadah. Kedua sifat yang berlawanan itu tidak akan dapat dihilangkan, oleh karena itu harus disalurkan pada hal yang menguntungkan.  Selanjutnya harus dibedakan antara manajemen pengelolaan kampus dan manajemen pengembangan kampus. Manajemen pengelolaan kampus lebih tertuju pada penataan atau pengaturan terhadap seluruh kegiatan pelayanan pendidikan. Sedangkan manajemen pengembangan kampus lebih diarahkan pada upaya menumbuh-kembangkan kampus agar tahap demi tahap mengalami kemajuan.