BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepanjang masa
pendidikan klasik Islam, penentuan pengembangan pendidikan dasar, menengah dan
tinggi berada di tangan ulama kelompok orang-orang berpengetahuan dan diterima
secara otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum. Keyakinan mereka berakar
pada konservatisme agama dan keyakinan kokoh terhadap wahyu sebagai inti dari
semua pengetahuan.
Mengikuti arus
penolakan atas aliran yang diilhami filsafatYunani terutama pasca al-Ghazali,
kurikulum pendidikan belum terbentuk secara baku dalam bentuk peraturan, tetapi
kurikulum dan metode di masjid, akademi dan madrasah mengikuti pola-pola yang
dikembangkan dari majlis dan halaqah-halaqah ilmiah. Dengan demikian, yang
dibicarakan dalam pengembangan madrasah lebih difokuskan pada kurikulum dan
metode pengajaran saja.
Ilmu-ilmu keislaman
memegang kontrol penuh dan menjadi unsur penting bagi lembaga-lembaga
pendidikan. Naiknya ilmu-ilmu ini mulai terjadi secara nyata setelah gagalnya
gerakan rasionalis (teologi Muktazilah dan filsafat) dan mencapai puncaknya
pada pertengahan abad ke 5 H/11 M. Dalam kelompok mi, hukum Islam (fiqh)
dianggap sebagai satu dari segala cabang pengetahuan dengan peringkat yang
tertinggi, sementara ilmu-ilmu sastra berfungsi sebagai pelayannya. Kelompok
lainnya, yang disebut ilmu-ilmu kuno, yaitu ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani
ditentang oleh sarjana Muslim di tengah masyarakat, tetapi memperoleh
penghormatan secara terselebung di kalangan sebagian terpelajar.
Kurikulum pendidikan
pada masa Nabi Saw. ditentukan secara pribadi oleh beliau sendiri yang
bertindak sebagai perancang pendidikan, konsultan sekaligus guru. Pada saat itu
belum ada undang-undang pendidikan yang mengatur segala bentuk pengelolaan dan
pengembangan pendidikan. Pada masa Khulafa al-Rasyidun dan Bani Umayyah
kurikulum pendidikan ditentukan oleh para ulama dan khalifah yang memerintah
pada masa itu. Sementara itu pada masa Dinasti Abbasyiah, ketika lembaga
pendidikan model madrasah sudah mulai dikenal, kurikulum dan metode pendidikan
diurus oleh ulama, sedangkan khalifah tidak terlalu dominan dalam menentukan
kebijakan-kebijakan pendidikan. Ini dilakukan dalam kerangka penghormatan
mereka terhadap otorita lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan
yang dilakukan para ulama., selain karena mereka disibukkan dengan urusan
politik.
B. Perumusan Masalah
1. Apa Model-model Pengembangan
Kurikulum?
2. Bagaimana Langkah-langkah
Pengembangan Kurikulum?
C. Metode Pengambilan Data
Dalam pengambilan data
ini, kami melalui studi pustaka di berbagai perpustakaan yang ada di sekitar
kota Sukabumi. Untuk bahan pendukugnya kami melalui diskusi-diskusi kecil
dengan teman-teman yang sekiranya mereka sudah berpengalaman dalam masalah
kurikulum pendidikan Islam pada masa klasik.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
Banyak
model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum, pemilihan suatu model
pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan
kebaikan-kebaikanya serta kemungkinan tercapainya hasil yang optimal, tetapi
juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengelolaan
pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan. Model
pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya
sentralisasi berbeda dengan desentralisasi. Model pengembangan dalam kurikulum
yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan kurikulum humanistik, teknologis
dan rekontruksi sosial.
Sekurang-kurangnya
dikenal enam model pengembangan kurikulum yaitu:
1. The Administrative Model.
Model pengembangan
kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi
nama model administratif atau line staf, karena inisiatif dan gagasan
pengembangan datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur
administrasi. Dengan wewenang administrasinya, administrator pendidikan (apakah
dirjen, direktur atau kepala kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan)
membentuk suatu komisi atau tim pengarah pengembangan kurikulum. Anggota-anggota
komisi atau tim ini terdiri atas, pejabat dibawahnya, para ahli pendidikan,
ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan
perusahaan, tugas tim atau komisi ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar,
landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan
kurikulum. Setelah hal-hal mendasar ini terumuskan dan mendapat pengakajian
yang seksama, administrator pendidikan menyusun tim atau komisi kerja
pengembangan kurikulum. Para anggota tim atau komisi ini terdiri atas para ahli
pendidikan/kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, guru-guru
bidang studi yang senior.
Tim kerja pengembangan
kurikulum bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional,
yang dijabarkan dari konsep-konsep dan kebijaksanaan dasar yang telah
digariskan oleh tim pengarah. Tugas tim kerja ini merumuskan tujuan-tujuan yang
lebih operasional dari tujuan-tujuan yang lebih umum, memilih dan menyusun
sekuens bahan pelajaran, memilih strategi pengajaran dan evaluasi, serta menyusun
pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum tersebut bagi para guru.
Setelah semua tugas
dari tim kerja pengembangan kurikulum tersebut selesai, hasilnya dikaji ulang
oleh tim pengarah serta para ahli lain yang berwewenang atau pejabat yang
kompeten. Setelah mendapat beberapa penyempurnaan, dan dinilai telah cukup
baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut
serta memerintahkan sekolah-sekolah untuk melaksanakan kurikulum tersebut.
Karena sifatnya yang datang dari atas, model pengembangan kurikulum demikian
disebut juga model “top down” atau “line staff”. Pengembangan kurikulum dari
atas, tidak selalu segera berjalan, sebab menuntut kesiapan dari pelaksanaanya,
terutama guru-guru. Mereka perlu mendapatkan petunujuk-petunjuk dan penjelasan
atau mungkin juga peningkatan pengetahuan dan ketrampilan. Kebutuhan akan
adanya penataran sering tidak dapat dihindarkan.
Dalam pelaksanaan
kurikulum tersebut, selama tahun-tahun permulaan diperlukan pula adanya
kegiatan monitoring pengamatan dan pengawasan serta bimbingan dalam
pelaksanaanya. Setelah berjalan beberapa saat perlu juga dilakukan evaluasi,
untuk menilai baik validitas komponen-komponenya prosedur pelaksanaan maupun
keberhasilanya. Penilaian menyeluruh dapat dilakukan oleh tim khusus dari
tingkat pusat atau daerah. Sedang penilaian persekolah dapat dilakukan oleh tim
khusus sekolah yang bersangkutan. Hasil penilaian tersebut merupakan umpan
balik, baik bagi instansi pendidikan di tingkat pusat, daerah maupun sekolah.
2. The Grass Roots Model
Model pengembangan ini
merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum,
bukan datang dari atas tetapi datang dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah.
Model pengembangan kurikulum yang pertama,digunakan dalam sistim pengelolaan
pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan Grass Roots Model
akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam
model pengembangan Grass Roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan
guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum.
Pengembangan atau
penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau
beberapa bidang studi atau seluruh bidang studi dan keseluruhan komponen
kurikulum. Apabil kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan
guru-guru, vasilitas, biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan
kerikulum Grass Roots Model akan lebih baik. Hal ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari
pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karna
itu dialah yang paling berkompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya. Hal itu
sesuai dengan prinsip-prinsip pengembang kurikulum yang deikemukakan oleh
smith, stanley dan shores (1957:429) dalam pengembangan kurikulum karangan Prof.
DR. Nana Syaodih Sukmadinata.
Pengembangan kurikulum
yg bersifat Grass Roots Model mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu
atau sekolah tertentu tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk bidang studi
sejenis pada sekolah lain, atau keseluruhan bidang studi pada sekolah atau
daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi dengan model
grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam meningkatkan mutu
dan sistem pendidikan yang pada giliranya akan melahirkan manusia-manusia yang
lebih mandiri dan kreatif.
3. Beauchamp’s System. Model Pengembangan
Kurikulum
Model pengembangan kurikukum ini, dikembangkan oleh Beauchamp
seorang ahli kurikulum Beauchamp. Mengemukakan lima hal di dalam pengembangan
suatu kurikulum.
a) Pertama, menetapkan arena atau lingkup
wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum tersebut, apakah suatu sekolah,
kecamatan, kabupaten atau seluruh negara. Pentahapan arena ini ditentukan oleh
wewenang yang dimiliki oleh pengambil kebijaksanaan dalanm pengembangan
kurikulum, serta oleh tujuan pengembangan kurikulum. Walaupun daerah yang
menjadi wewenang kepala kanwil pendidikan dan kebudayaan mencakup suatu wilayah
propinsi, tetapi arena pengembangan kurikulum hanya mencakup suatu daerah
akabuapten saja sebagai pilot proyek.
b) Kedua, menetapkan personalia, yaitu
siapa-siapa yang turut serta terlibat dalam pengembangan kurikulum. Ada empat
kategori orang yang turut berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum yaitu:
Para ahli
pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan para ahli
bidang ilmu dari luar,
Para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru
terpilih,
Para profesional dalam sistem pendidikan.
Profesioanal lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
c) Ketiga, organisasi dan prosedur
pengembangan kurikulum. Langkah ini harus berkenaan dengan prosedur yang harus
ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan yang lebih khusus, memilih isi
dan pengalaman belajar serta kegiatan evaluasi dalam menentukan keseluruhan
desain kurikulum.
d) Keempat,
implementasi kurikulum. Langkah ini merupakan langkah mengimplementasikan atau
melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang sederhana, sebab membutuhkan
kesiapan yang menyeluruh, baik kesiapan guru-guru, siswa, fasilitas, bahan
maupun biaya, disamping kesiapan manajerial dari pimpinan sekolah atau
administrator setempat.
4. The
Demonstration Model
Model demonstrasi pada
dasarnya bersifat grass roots, dangan dari bawah. Model ini diprakarsai oleh
sekelompok guru atau sekelompok guru bekerja sama dengan ahli yang bermaksud
mengadakan perbaikan kurikulum. Model
ini umumnya berskala kecil, hanya mencakup suatu atau beberapa sekolah, suatu
kompenen kurikulum atau mencakup keseluruhna kompeonen kurikulum. Karena sikap
ingin merubah atau mengganti kurikulum yang ada, pengembangan kurikulum sering
mendapat tantangan dari pihak-pihak tertentu.
Karena sifatnya yang
ingin merubah, pengembangan kurikulum seringkali mendapat tantangan dari pihak
tertentu.
Terdapat dua variasi model demonstrasi,
yaitu ; berbentuk proyek dan berbentuk
informal, terutama diprakarsai oleh sekelompok guru yang merasa kurang puas
dengan kurikulum yang ada.
Beberapa keunggulan dari pengembangan
kurikulum model demonstrasi ini, yaitu:
Memungkinkan untuk
menghasilkan suatu kurikulum atas aspek tertentu dari kurikulum yang lebih
praktis, karena kurikulum disusun dan dilaksanakan berdasarkan situasi nyata;
Jika dilakukan dalam
skala kecil, resistensi dari administrator kemungkinan relatif kecil,
dibandingkan dengan perubahan yang berskala besar dan menyeluruh;
Dapat menembus hambatan
yang sering dialami yaitu dokumen kurikulumnya bagus, tetapi pelaksanaannya
tidak ada;
Menempatkan guru
sebagai pengambil insiatif yang dapat menjadi pendorong bagi para administrator
untuk mengembangkan program baru.
Sedangkan kelemahan
model ini adalah bagi guru-guru yang tidak turut berpartisipasi mereka akan
enggan-enggan. Dalam keadaan terburuk mungkin akan terjadi apatisme.
5.
Taba’s Inverted Model
Menurut cara yang bersifat tradisional
pengembangan kurikulum dilakukan secara deduksi, dengan urutan:
-
Penentuan
prinsip-prinsip dan kebijaksanaan dasar,
-
Merumuskan
desain kurikulum yang bersifat menyeluruh didasarkan atas komitmen-komitmen
tertentu,
-
Menyusun
unit-unit kerikulum sejalan dengan desain yang menyeluruh,
-
Melaksanakan
kurikulum di dalam kelas.
Taba berpendapat model
deduktif ini kurang cocok, sebab tidak merangsang timbulnya inovasi-inovasi.
Menurut pengembangan kurikulum yang lebih mendorong inovasi dan kreativitas
guru-guru adalah bersifat induktif, yang merupakan inversi atau arah terbalik
dari model tradisional.
Ada lima langkah
pengembangan kurikulum model taba ini. Pertama, mengadakan unit-unit
eksperiment bersama guru-guru. Kedua, Menguji unit eksperimen. Ketiga,
mengadakan revisi dan konsolidasi. Langkah keempat, pengembangan keseluruhan
kerangka kurikulum.
6. Roger’s Interpersonal Relation Model (Model
Model Pengembangan Kurikulum)
Meskipun roger bukan
seorang ahli pendidikan melainkan seorang ahli psikologi atau psikoterapi.
Tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi khususnya bagaimana membimbing
individu juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan pengembangan
kurikulum. Memang ia banyak mengemukakan konsep tentang perkembangan dan
perubahan individu.
Menurut when crosby
(1970:388) dalam Nana Syaodih Sukmadinata “pengembangan kurikulum teori dan
praktek mengatakan bahwa “perubahan kurikulum adalah perubahan individu”.
Menurut Rogersmanusia
berada dalam proses perubahan (becoming, developing, changing), sesungguhnya ia
mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri, tetapi karena ada
hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan orang lain untuk membantu
memperlancar atau mempercepat perubahan tersebut. Guru serta pendidik lainnya
bukan pemberi informasi apalagi penentu perkembangan anak, mereka hanyalah
pendorong dan pemelancar perkembangan anak.
Ada empat langkah
pengembangan kurikulum model Rogers, yaitu:
Pemilihan target dari sistem pendidikan; di
dalam penentuan target ini satu-satunya kriteria yang menjadi pegangan adalah
adanya kesediaan dari pejabat pendidikan/administrator untuk turut serta dalam
kegiatan kelompok secara intensif. Selama satu minggu pejabat
pendidikan/administrator melakukan kegiatan kelompok dalam suasana relaks,
tidak formal.
Partisipasi guru dalam
pengalaman kelompok yang intensif. Keikutsertaan guru dalam kegiatan sebaiknya
secara sukarela. Lama kegiatan satu minggu atau kurang. Menurut Rogers bahwa
efek yang diterima sejalan dengan para administrator seperti telah dikemukakan
di atas,
Pengembangan pengalaman
kelompok yang intensif untuk satu kelas atau unit pelajaran. Selama lima hari
penuh peserta didik ikut serta dalam kegiatan kelompok, dengan fasilitator guru
atau administrator atau fasilitator dari luar.
B.
LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN KURIKULUM
Pegembangan kurikulum
meliputi empat langkah, yaitu merumuskan tujuan pembelajaran (instructional
objective), menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar (selection of learning
experiences), mengorganisasi pengalaman-pegalaman belajar (organization of
learning experiences), dan mengevaluasi (evaluating).
1. Merumuskan Tujuan
Pembelajaran (instructional objective)
Terdapat tiga tahap
dalam merumuskan tujuan pembelajaran. Tahap yang pertama yang harus
diperhatikan dalam merumuskan tujuan adalah memahami tiga sumber, yaitu siswa
(source of student), masyarakat (source of society), dan konten (source of
content). Tahap kedua adalah merumuskan tentative general objective atau
standar kompetensi (SK) dengan memperhatikan landasan sosiologi (sociology),
kemudian di-screen melalui dua landasan lain dalam pengembangan kurikulum yaitu
landasan filsofi pendidikan (philosophy of learning) dan psikologi belajar
(psychology of learning), dan tahap terakhir adalah merumuskan precise
education atau kompetensi dasar (KD).
2. Merumuskan dan
Menyeleksi Pengalaman-Pengalaman Belajar (selection of learning experiences)
Dalam merumuskan dan
menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar dalam pengembangan kurikulum harus
memahami definisi pengalaman belajar dan landasan psikologi belajar (psychology
of learning). Pengalaman belajar merupakan bentuk interaksi yang dialami atau
dilakukan oleh siswa yang dirancang oleh guru untuk memperoleh pengetahuan dan
ketrampilan. Pengalaman belajar yang harus dialami siswa sebagai learning activity
menggambarkan interaksi siswa dengan objek belajar. Belajar berlangsung melalui
perilaku aktif siswa; apa yang ia kerjakan adalah apa yang ia pelajari, bukan
apa yang dilakukan oleh guru. Dalam merancang dan menyeleksi
pengalaman-pengalaman belajar juga memperhatikan psikologi belajar.
Ada lima prinsip umum
dalam pemilihan pengalaman belajar. Kelima prinsip tersebut adalah
a. pertama, pengalaman belajar yang
diberikan ditentukan oleh tujuan yang akan dicapai,
b. kedua, pengalaman belajar harus cukup
sehingga siswa memperoleh kepuasan dari pengadaan berbagai macam perilaku yang
diimplakasikan oleh sasaran hasil,
c. ketiga, reaksi yang diinginkan dalam
pengalaman belajar memungkinkan bagi siswa untuk mengalaminya (terlibat),
d. keempat, pengalaman belajar yang berbeda
dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sama, dan
e. kelima, pengalaman belajar yang sama
akan memberikan berbagai macam keluaran (outcomes).
3. Mengorganisasi
Pengalaman Pengalaman Belajar (organization of learning experiences)
Pengorganisasi atau
disain kurikulum diperlukan untuk memudahkan anak didik untuk belajar. Dalam
pengorganisasian kurikulum tidak lepas dari beberapa hal penting yang
mendukung, yakni: tentang teori, konsep, pandangan tentang pendidikan,
perkembangan anak didik, dan kebutuhan masyarakat. Pengorganisasian kurikulum
bertalian erat dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Oleh karena itu
kurikulum menentukan apa yang akan dipelajari, kapan waktu yang tepat untuk
mempelajari, keseimbangan bahan pelajaran, dan keseimbangan antara aspek-aspek
pendidikan yang akan disampaikan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
mengembangkan kurikulum hal - hal yang perlu diperhatikan adalah; 1. Merumuskan
tjuan pendidikan 2. Menyusun pengalaman belajar. 3. Mengelola pengalaman
belajar 4. Menilai pembelajaran Tujuan pendidikan meliputi tujuan raional,
institusional dan tujuan pembelajaran. Pengalaman pembelajaran disusun untuk
memberikan gagasan kepada guru tentang rincian kegiatan pembelajaran yang harus
dilaksanakan. Pengalaman pembelajaran mengandung materi kurikulum. Kriteria
seleksi materi yang dapat dipertimbangkan mencakup, kemnadirian peserta didik,
memgandung makna yang mendalam, menuju kualitas kehidupan yang lebih baik,
mengandung urutan atau sistematika berdasarkan kepentingan, autentik, menarik,
bermanfaat, dapat dipelajari, dan layak dipelajari. Ada lima model pendekatan
pengembangan kurikulm, yaitu: 1. Model Tyler. 2. Model Taba. 3. Model Teknik
Saintifik 4. Model nonteknik saintifik 5. Model pendekatan hasil belajar.
B.
Saran
Semoga
dengan selesainya Makalah ini membantu para guru mengetahui tentang Pengertian
Kurikulum, termasuk Model Pengembangan kurikulum, dan langkah-langkah
pengembangan kurikulum. amin
DAFTAR
PUSTAKA
Bafadal.
Ibrahim. 2007. Catatan Kuliah Manajemen Pengembangan Kurikulum di Prodi
Manajemen Pendidikan Program Pasca Sarjana (S2-Sandwich) UM. Malang
Mahasiswa
MPD. 2007. Kumpulan Makalah Manajemen Pengembangan Kurikulum di Prodi Manajemen
Pendidikan Program Pasca Sarjana (S2-Sandwich) UM. Malang
Oliva,
Peter F. 1992. Developing The Curriculum 3rd Edition. New York: Harper Collins
Publishers.
Sukmadinata,
Nana Saodih. 2007. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktik. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Tyler,
Ralph W. 1973. Basic Principles of Curriculum and Instruction. London: Lowe and
Brydone (Printers) Ltd