BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
“Mana kala kemunduran akhl;ak telah
menimpa suatu kaum, laksanakanlah upacara kesedihan dan duka cita” (Syauqi
al-Marhum)
Sejak bangsa Indonesia dilanda
krisis ekonomi yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar mata uang rupiah
terhadap mata uang asing pada pertengahan tahun 1998 silam, keadaan bangsa
Indonesia yang baru saja memasuki era tinggal landas menjadi sangat
memperihatinkan. Krisis ekonomi yang melanda demikian cepat itu berdampak pada
instabilitas politik dan seluruh aspek kehidupan bangsa ini. Arus reformasi
yang menntut suksesi kepemimpinan nasionalpun terus bergulir semakin kuat.
Ternyata akibat da ri semua kejadian itu berdampak pada rakyat Indonesia
sendiri. Rakyatlah yang seolah menjadi tumbal dari semua kejadian di negeri
ini, sementara para pejabat, tetap saja hidup dalam kemegahan dan kemewahannya.
Para pekerja, karyawan dan para buruh di pabrik-pabrik banyak menerima PHK
secara sepihak lantaran beberapa perusahaan dan instansi tempat mereka bekerja
gulung tikar, sehingga tingkat pengangguran melonjak begitu drastis, dan tindak
kriminalitas semakin merajalela. Keadaan negara kian hari kian bertambah
terpuruk, sehingga banyak sekali komponen masyarakat yang kehilangan pegangan
hidup. Keadaan semacam ini tampaknya memang tidak mudah untuk diatasi, bahkan
membekas hingga saat ini. Barangkali inilah konsekuensi sistem kapitalisme yang
dimanifestasikan modernisme.
Memang, jika kita memperhatikan
fenomena kehidupan manusia di era moderen saat ini, kita akan banyak sekali
menemukan gejala yang sangat unik mengenai pola hidup yang mereka lakukan. Di
dunia barat, belahan dunia yang menjadi simbol modernisme dimana masyarakatnya
telah melampaui dan menjangkau kecanggihan teknologi (the post industrial society),
suatu komunitas yang telah mencapai tingkat kemakmuran materi sedemikian rupa
dengan segala perangkat teknologi yang demikian canggih dan serba otomatis itu,
pada faktanya justru sedang dihadapkan pada suatu problematika kehidupan yang
sangat serius, yakni hilangnya eksistensi diri sebagai manusia yang sebenarnya
Ternyata kemajuan teknologi yang
sangat pesat itu disamping memiliki segi-segi positif bagi kehidupan manusia
seperti efisiensi dan berbagai kemudahan-kemudahan materiil, ia juga memiliki
efek dan akses-akses negatif yang dampaknya begitu berpengaruh dan sangat
dirasakan umat manusia di era modern. Jawaban-jawaban yang diberikan era modern
dengan peralatan teknologinya yang serba canggih justru menyebabkan manusia
banyak yang lari dari paham keagamaan yang selama ini mereka pegang. Manusia
era modern dalam hal ini telah memasuki babak baru kehidupan mereka yakni The
post industrial society, sehingga paham sekulerisme berkembang pesat.
Bahwa masyarakat modern memang
sedang dihadapkan pada persoalan determinasi dan hilangnya eksistensi diri, hal
tersebut telah dijelaskan dan diakui sejak lama oleh para filosof dan pemikir
sosial baik dari kalangan Muslim maupun non Muslim. Dari dunia Barat tercatat
nama seperti G.W.F Hegel (1770-1831), Erich Fromm dengan filsafat cintanya,
Karl Marx (1818-1883) dengan teori alienasinya, bahkan juga Nietzche
(1844-1900) dengan filsafat eksistensialismenya. Secara umum pendapat dan
pemikiran mereka tentang manusia itu tertuang dalam paham humanisme; yaitu
suatu paham yang hendak memanusiakan manusia, setelah mereka oleh modernisme
sering kali tidak dimanusiakan.
Sementara itu dari kalangan Islam,
mereka mencoba mengangkat tema-tema keislaman sebagai solusi dalam mengatasi
problem krisis modernisme. Diantara sebagian pemikir itu tercatat nama seperti
S.H. Nasr, Yususf Qardhawi, Fazlur Rahman, dan juga Ali Syari’ati yang secara
vulgar mengadopsi istilah humanisme dengan hanya memberi sedikit label
keislaman, serta masih banyak lagi para pemikir Islam abad kedua puluh lainnya.
Disebabkan demikian kuatnya
hegemoni dan pengaruh kebudayaan Barat terhadap kebudayaan lainnya di penjuru
dunia dengan paham modernismenya tadi, maka dampak modernismepun kemudian tidak
hanya dirasakan oleh masyarakat Barat saja. Sepanjang daratan Atlantik hingga
teluk Arab, terutama pada puluhan tahun terakhir banyak sekali dijumpai
kenyataan-kenyataan berkaitan dengan kebobrokan moral, meskipun kita (bangsa
Timur) telah diakui sebagai masyarakat yang bermoral .
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Sebagai bentuk kata benda (nouns)
kata krisis memang dapat dinisbatkan untuk merujuk berbagai keadaan di berbagai
bidang. Ia dapat digunakan pada bidang ekonomi, kedokoteran, kebudayaan atau
bidang sastra. Oleh karena itu dalam penelitian in penulis akan membatasi
pemakaian istilah krisis tersebut untuk merujuk bidang moral. Yakni sumber
utama dari segala krisis di semua bidang tersebut menurut perspektif agama
(tasawuf), dengan memfokuskan telaahannya pada konsep Manajemen Qolbu (MQ) yang
digagas Aa Gym.
Agar pembahasan skripsi ini menjadi
lebih terarah dan komprehensif, penulis akan merumuskan permasalahan yang akan
dibahas sebagai berikut: a. latar belakang ide MQ, b). hubungannya dengan
konsep tasawuf pada umumnya tentang qalbu, c. perbedaan dan persamaan konsep MQ
dengan konsep tasawuf pada umumnya, dan d. sejauh manakah efektivitas konsep MQ
dalam membentuk karakter para jamaahnya.
a.Hipotesis
Dari perumusan masalah di atas dapat dikemukakan
hipotesis sebagai berikut:
H 1: Semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang
konsep MQ, akan berakibat positif pada karakter dan perilakunya, demikian pula
sebaliknya. Jadi terdapat korelasi positif antara konsep MQ dengan perilaku
sehari-hari.
H 2: Kharisma dan keteladanan kiai mempengaruhi
paradigma seseorang dalam memahami konsep MQ.
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah:
1. mengetahui
latar belakang konsep MQ sebagai solusi yang ditawarkan Aa Gym berkaitan dengan
kondisi krisis berkepanjangan yang menimpa bangsa Indonesia; bagaimana konsep
ini bisa lahir, bagaimana hubungan konsep ini dengan konsep para sufi pada
umumnya tentang qalbu, dan sejauh manakah efektivitas konsep MQ dalam
memberikan solusi bagi penyelesaian krisis bangsa.
2. Sebagai
sumbangan pemikiran dalam bentuk skripsi untuk memperluas dan menambah khazanah
kepustakaan Islam, juga untuk menambah wawasan baru bagi masyarakat pada
umumnya mengenai pentingnya menjaga hati.
3.
Untuk memenuhi
persyaratan dalam menyelesaikan tugas akademis guna mencapai gelar sarjana
filsafat Islam.
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
A. Pengertian
Al-qolbu
Kata Qalb terambil dari akar kata
yang bermakna membalik, karena sering kali ia berbolak-balik, sekali senang,
sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak, ia berpotensi untuk tidak
konsisten. Al qur’an pun menggambarkan demikian, ada yang baik ada pula
sebaliknya. Berikut beberapa ayat-ayat al qur’an tentang hati:
1.Hati yang bolak-balik
Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai qalbu atau yang
menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya (QS,Qaf:37)
2.Hati orang beriman
Mereka ialah orang-orang yang
beriman, yang hatinya menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatilah, hanya
dengan mengingat Allahlah hati orang mukmin menjadi tenteram. Ar-Ra’du:28
Dijelaskan juga pada Al-Anfal:29
Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa
kepada Allah, pasti Dia akan memberimu furqan Suatu petunjuk merupakan pelita
hati yang dapat membedakan antara yang salah dan yang benar antara yang terang
dan yang gelap dan sebagainya, akan menghapus segala kesalahanmu dan
mengampunimu. Allah mempunyai karunia yang amat besar. Al-Anfal:29
Menurut ayat diatas bahwa Seseorang yang tidak takut
kepada Allah sepenuhnya kehilangan patokan (Furqon) untuk membedakan antara
benar dan salah.
3.Hati yang terkunci
Sebab Allah
telah mengunci hati dan pendengaran mereka, sedangkan pada penglihatannya ada
pula tutupan. Untuk mereka disediakan siksaan yang amat berat. Al-Baqarah:7dan
supaya dibuktikan-Nya pula orang-orang yang munafik. Kepada mereka diserukan:
“Marilah berperang di jalan Allah atau setidak-tidaknya pertahankanlah dirimu!”
Mereka menjawab: “Kalau kami tahu akan berperang, tentulah kami mengikutimu”.
Mereka di hari itu, lebih dekat kepada kekafiran dari keimanan. Perkataan yang diucapkan
mulutnya, berlainan dengan apa yang terkandung di dalam hatinya, dan Allah
lebih mengetahui apa-apa yang mereka rahasiakan. Al-Imran:167
selain kata Qalb, hati disebut al qur’an dengan
beberapa istilah antara lain sebagai berikut:
1).Ash Shadr
Asal katanya adalah kejadian, kembali, permulaan
dari segala sesuatu, kukuh hati dan dada
Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada
dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di
atas dipan-dipan.(Qs.al Hijr: 47)
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya
untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan
orang yang membatu hatinya)? Maka Kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang
Telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang
nyata. (Qs. az zumar: 22)
2).Basyirah
Artinya yaitu hati nurani
Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya
sendiri (Qs.Al Qiyamah: 14)
maksudnya ayat Ini ialah, bahwa anggota-anggota
badan manusia menjadi saksi terhadap pekerjaan yang Telah mereka lakukan
3).Al fuad
Asal katanya kematian, ketetapan, manfaat dan hasil
Hatinya tidak mendustakan apa yang Telah dilihatnya
(Qs.An Najm:11)
Maksud ayat 4-11 menggambarkan peristiwa Turunnya
wahyu yang pertama di gua Hira.
B.
Fungsi
Qalb
a.Sebagai wadah dan media dalam menampakkan
ayat-ayat Nya berupa gambaran dan pemandangan batin yang mengandung isyarat
pelajaran yang sangat bermakna, dan penuh dengan hikmah.
b.Wadah terbitnya firasat-firasat berupa suara dan
bisikan keTuhanan yang mengandung perintah dan larangan.
c.Wadah rasa cinta dan kerinduan, rasa sedih dan
gembira, rasa keinsanan dan keTuhanan
Dari ayat-ayat diatas terlihat bahwa qalbu adalah
wadah dari pengajaran, kasih sayang, takut dan keimanan. Dari isi qalbu yang
dijelaskan oleh ayat diatas (demikian juga ayat-ayat yang lain) dapat ditarik
kesimpulan bahwa qalbu menampung hal-hal yang diketahui /disadari pemiliknya.
Ini merupakan salah satu perbedaan antara qalbu dan nafs.
Dari sini dapat dipahami mengapa yang dituntut untuk
dipertanggung jawabkan hanya isi qalbu bukan isi nafs;
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang
tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
(sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun (Qs.al Baqarah: 225), namun dinyatakan bahwa:
Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu;
jika kamu orang-orang yang baik, Maka Sesungguhnya dia Maha Pengampun bagi
orang-orang yang bertaubat. (Qs. Al Israa:25)
Menurut Al-Ghazali, qalb atau hati
memiliki dua makna, yang pertama adalah sepotong daging (mudhghah) yang
berbentuk buah sanaubar, yang terletak di bagian kiri dada, di dalamnya
terdapat rongga berisi darah hitam. Dan di situ pula sumber atau pusat ruh.
Akan tetapi beliau saat itu tidak bermaksud hendak menguraikan tentang
bentuknya ataupun fungsi biologisnya, sebab yang demikian itu adalah objek
wacana pada ahli medis, tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan keagamaan. Apalagi
organ hati ini tidak hanya ada dalam tubuh manusia saja, tetapi juga terdapat
dalam tubuh hewan, bahkan juga pada orang yang sudah mati. Karenanya beliau
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hati itu pada dasarnya adalah bukan
organ hati tersebut, Sebab ia dalam kaitannya dengan topik yang sedang kita
bahas sekarang- tak lebih dari sepotong daging tak berharga yang ada di dalam
alam duniawi yang kasat mata, (’alam al-mulk wasy-syahaadah), yang bentuknya
dapat dilihat oleh mata hewan-hewan apalagi manusia.
Makna kedua, hati/qalb adalah
sebuah lathiifah (sesuatu yang amat halus dan lembut, tidak kasat mata, tak
berupa dan tak dapat diraba) yang bersifat Rabbani ruhani, mseki ada juga
kaitannya dengan organ hati. Lathiifah tersebut sesungguhnya adalah jati diri
manusia atau hakikatnya. Dia adalah bagian komponen utama manusia yang
berpotensi mencerap (memiliki daya tanggap dan persepsi) yang memiliki
kemampuan untuk mengetahui sesuatu, dan mengenalnya, yang ditujukan kepadanya
segala pembicaraan dan penilaian, dan yang dikecam, dan dimintai pertanggungjawaban.
Meski demikian qalb atau hati dalam makna seperti ini tetap memiliki kaitan
dengan hati biologis, meski patut kita sadari bahwa akal kebanyakan manusia
senantiasa dalam kebingungan ketika hendak mengentahui sejauh mana dan
bagaimana bentuk keterkaitannya itu.
Dalam pengertian bahasa, qalb
bermakna membalik, kembali, maju-mundur, naik-turun, berubah-ubah. Kata ini
digunakan untuk menamai bagian dalam diri manusia yang menjadi sentral diri
manusia itu sendiri, yang kita terjemahkan dengan hati. Penamaan demikian,
diperkirakan, ada kaitannya dengan sifat hati itu sendiri yang menjadi lokus
kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesalahan, dimana ia sering berubah-ubah,
bolak-balik, maju-mundur dalam menerima kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesalahan.
Alquran menggunakan kata qalb seba-nyak 132 kali
dalam konteks yang berbeda-beda. Di sini kita tidak akan melihat rincian itu
semua. Alquran sering mengidentikkan kata qalb dengan ’aql, seperti dalam QS
22:46. Demikian pula hati diidentikkan dengan nafs (lihat QS 89:27-8). Dari
sekian pemaknaan ini, saya cenderung memahami pengertian bolak balik hati ini
adalah penghadapan wajah yang berbolak balik, terkadang terhadapkan pada Dia
Ta’ala, dan di masa yang lain, hati cenderung menghadapkan dirinya pada urusan
dunia…. dan faktanya, seringkali kita hadapkan selalu ke arah “bawah” ini…
Dalam pandangan para sufi, hati yang lebih
ditekankan pada makna lathiifah rabbaniyah ruuhaniyyah adalah sesuatu yang
menjadi tumpuan pandangan Allah, sebagaimana disebutkan dalam Alquran,
”Tidak ada dosanya jika kamu berbuat salah, kecuali
jika hatimu menyengajanya.Dan Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Mengasihi”
(QS 33:5).
Dalam hadis diungkapkan ”Sesungguh-nya Allah tidak
memandang bentuk dan tubuhmu, tetapi Dia memperhatikan hati dan perbuatanmu.”
(HR Muslim).
Allah hanya
memperhatikan hati, karena hati itulah yang menjadi hakikat manusia. Karakter
seseorang berbeda dengan yang lain karena hatinya berbeda. Perbedaan itu pula
yang menyebabkan perbedaan dalam cara Allah memperlakukan sang hamba itu
sendiri
Berikut ini penuturan dari seorang syaikh Sufi dari
California, Syaikh Robert Frager yang menjelaskan perbedaan mendasar dan
keterhubungan antara hati jasmaniyah atau hati dalam makna pertama Alghazali
tadi dengan hati batiniyah:
”Hati batiniah berfungsi hampir sama dengan hati
jasmaniyah. Hati jasmaniah terletak di titik pusat batang tubuh; hati batiniah
terletak di antara diri rendah dan jiwa. Hati jasmaniah mengatur fisik; hati
batiniah mengatur psikis. Hati jasmaniah memelihara tubuh dengan mengirimkam
darah segar dan beroksigen kepada tiap sel dan organ di dalam tubuh. Ia juga
menerima darah kotor melalui pembuluh darah. Demikian pula, hati batiniah
memelihara jiwa dengan memancarkan kearifan dan cahaya, dan ia juga mensucikan
kepribadian dari sifat-sifat buruk. Hati memiliki satu wajah yang menghadap ke
dunia spiritual, dan satu wajah lagi menghadap ke dunia hawa nafsu dan
sifat-sifat buruk kita.
Jika hati jasmaniah terluka, maka kita menjadi
sakit. Jika ia mengalami kerusakan berat, maka kita pun meninggal dunia. Jika
hati batiniah kita terjangkiti sifat-sifat buruk dari hawa nafsu kita, maka
kita akan sakit secara spiritual. Jika hati tersebut secara keseluruhan
didominasi oleh hawa nafsu, maka kehidupan spiritual kita pun akan mati.
Hati jangan disalah artikan dengan emosi. Emosi,
seperti amarah, rasa takut, dan keserakahan berasal dari hawa nafsu. Ketika
menusia berbicara mengenai hasrat hati, mereka biasanya merujuk pada hasrat
hawa nafsu. Hawa nafsu tertarik pada kenikmatan duniawi dan tidak peduli akan
Tuhan; sedangkan hati tertarik kepada Tuhan dan hanya mencari kenikmatan di
dalam Tuhan.
Hati secara langsung bereaksi atas setiap pikiran
dan tindakan. Guru syaikh saya kerap berkata bahwa setiap kata dan tindakan
yang baik memperlembut hati, dan setiap kata dan tindakan buruk akan
memperkeras hati. Nabi Muhammad Saw. Menyebutkan keutamaan hati saat berkata,
”Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia sehat,
maka seluruh tubuh pun akan sehat, jika ia sakit maka seluruh tubuh pun akan
sakit. Itulah hati.”
BAB
III
PEMBAHASAN
KONSEP AL QOLBU MENURUT AL-QUR’AN
DAN ASSUNAH
A. Makna Al-qolbu
atau hati
Hati adalah sebuah kuil yang
ditempatkan Tuhan di dalam diri setiap manusia; sebuah kuil untuk menampung
percikan Ilahi di dalam diri kita. Dalam sebuah hadis qudsi terkenal, Allah
berfirman, ”Aku, yang tak cukup ditampung oleh langit dan bumi, melainkan
tertampung dalam hati seorang beriman yang tulus.”
Kuil di dalam diri kita ini lebih
berharga dari pada kuil tersuci sekalipun di muka bumi ini. Maka, jika kita
melukai hati manusia lainnya dosanya lebih besar daripada merusak sebuah tempat
suci di dunia ini. Demikian saya kutip tulisan tadi dari Robert Frager, Hati
Diri dan Jiwa, terbitan Serambi-Jakarta.
Profesor Angha, dalam bukunya, The
Mystery of Humanity, menuturkan tentang mekanisme hati dan hubungannya dengan
pikiran…
“Visi Ilahiyah ibarat pengamat bayang-bayang
kehidupan, dan seperti bintang yang berkilat basah, terang dan diam, bersinar
dalam hatimu tanpa keraguan. Pusatkan dan tenangkan pikiranmu pada titik dalam
hatimu ini; bila pikiranmu sudah mantap dan tidak terganggu, kebenaran
kehidupanmu akan terungkap. Bila pikiran-pikiranmu beralih ke hal-hal yang
tidak berarti dan menjadi budak dari indra-indramu dengan membabi buta, hatimu
akan membangkang terhadap perintah-perintah Tuhan dan akan menjerembabkanmu ke
jalan hidup yang keras.
Petunjuk berada dalam kesatuan pikiran, hati, indra,
dan alam; dan penyimpangan akan berarti ketidakteraturan dan kebingungan yang
akan melanda keempat unsur ini.
Himpunlah semua energimu dan pusatkan sumber
kehidupan dalam hatimu agar temuan-temuanmu menjadi langgeng, sehingga kamu
akan hidup dalma keseimbangan dan ketentramanm dan mengenal keabadian.
Berikut ini dengan indah seorang syaikh sufi dari
tanah melayu Aceh yang wafat pada tahun 1644 M, Syaikh Nuruddin ar-Raniri, menggambarkan tentang apa itu hati atau qalb
manusia:
“Ketahuilah, Raja!” –semoga Allah Swt. Senantiasa
menerangi hati kita semua dengan cahaya-Nya yang agung sehingga mudah bagi saya
untuk menjelaskan masalah hati dan mudah pula bagi anda untuk memahaminya- qalb
(hati) adalah jauhar latiif (permata halus) yang mujarrad (tunggal) dan
bersifat nurani. Ia diciptakan oleh Allah Ta’ala dengan suatu sebab, yang
berwujud ruh dengan dibarengi oleh hawa nafsu. Hal ini sebagaimana disabdakan
oleh Nabi Muhammad Saw., ’Allah menciptakan qalb-qalb empat ribu tahun lebih
dahulu daripda jasad. Setelah itu, Dia meletakannya di tempat yang dekat dengan-Nya.
Sementara itu, arwah diciptakan oleh Allah Swt. Tujuh puluh ribu tahun lebih
dahulu daripada hati. Setelah itu, ia diletakan di taman kelembutannya (rawdlah
al-uns). Sebelumnya, Allah telah terlebih dahulu menciptakan sirr (rahasia)
daripada ruh dan menempatkan sirr tersebut di taman keintiman-Nya (rawdlah
al-wishl).’
Selain sabda Nabi Muhammad Saw tersebut, hal ini pun
telah dijelaskan pula oleh Allah Swt dalam hadis qudsi, Dia Azza wa Jalla
berfirman: ’Telah Kucipta seorang malaikat di dalam tubuh setiap anak keturunan
Adam. Di dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu ada qalb. Di dalam
qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu ada
lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.’ Dan juga
firman-Nya yang ditujukan kepada Nabi Daud a.s., ‘Wahai Daud! Kosongkan
untuk-Ku sebuah rumah, agar Aku bisa tinggal di dalamnya!’ Mendengar perintah
tersebut Nabi Daud a.s. tidak mengerti dan lantas bertanya, ‘Bagaimana caranya
wahai Tuhanku?’ Lantas Allah berfirman, ‘Kosongkan hatimu hanya untuk-Ku!’
Menurut Imam Ali r.a. qalb mempunyai lima nama,
Pertama, disebut shadr, karena ia merupakan tempat
terbitnya cahaya Islam (nuuru-l-islaam). Hal ini sebagaimana firman Allah Swt.,
‘Adakah sama dengan mereka yang dibukakan shadrnya
untuk Islam…. (QS 39:22)’.
Kedua, disebut qalb, karena ia merupakan tempat
terbitnya keimanan. Hal ini sebagaiamana firman-Nya,
‘Mereka itulah yang ditulis dalam hatinya terdapat
keimanan. (QS 58:22)’
Ketiga disebut fu’aad karena ia merupakan tempat
terbitnya ma’rifah. Hal ini sebagaimana Firman Allah Swt,
‘Fu’aad tidak pernah mendustai apa-apa yang
dilihatnya’ (QS 53:11).
Keempat disebut lubb, karena ia merupakan tempat
terbitnya tauhid. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
‘Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi
dan pergantian malam dan siang adalah ayat-ayat bagi ulil albaab (sang pemilik
lubb)’ (QS 3:190).
Kelima, disebut syagf, karena it merupakan tempat
terbitnya rasa saling menyayangi dan mencintai sesama makhluk. Hal ini sebagaimana
firman-Nya,
’Sungguh ia (Zulaikha) telah dikuasai oleh rasa
cinta yang membara….’ (QS 12:30)
Selain nama-nama yang telah disebutkan, hati pun
disebut juga dengan nama habbah al-quluub. Disebut demikian, karena ia
merupakan tempat terbitnya cahaya, sebagaimana yang diterangkan Allah dalam
hadis qudsi-Nya, ’Tiada yang sanggup menampung-Ku, baik bumi maupun langit-Ku.
Hanya hati hamba-Ku yang Mukmin yang dapat menampung-Ku.’