BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan jenjang terakhir dari hirarki
pendidikan formal mempunyai tiga missi yang diemban yaitu pendidikan,
penelitian dan pengabdian masyarakat atau lebih dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tiga missi yang diembankannya
tersebut bukanlah missi yang ringan untuk direalisasikan. Missi pendidikan di Perguruan Tinggi merupakan proses berlangsungnya pewarisan ilmu pengetahuan
dari satu generasi ke generasi berikutnya, agar dengan demikian proses alih
generasi juga diikuti dengan proses alih ilmu pengetahuan dalam arti luas.
Kemudian untuk menghindari stagnasi ilmu pengetahuan yang berorientasi pada
tuntutan zaman, maka dalam proses berlangsungnya pewarisan ilmu pengetahuan
membutuhkan pengembangan konsep atau teori ke arah konsep atau teori yang lebih
baik. Usaha pengembangan teori atau konsep dilaksanakan secara sistematis dan
melalui prosedur ilmiah, kegiatan ini disebut penelitian
Usaha pewarisan dan pengembangan ilmu pengetahuan oleh perguruan tinggi harus senantiasa memiliki pijakan dan relevansi dengan
kondisi masyarakat. Usaha memformulasikan peran Perguruan Tinggi
dalam dinamika masyarakat inilah yang lebih dikenal dengan nama
pengabdian masyarakat
Berdasarkan missi yang diembannya maka dapat dikatakan bahwa
Perguruan Tinggi mempunyai dua peran, yaitu
sebagai lembaga kajian dan sebagai lembaga layanan. Sebagai lembaga kajian maka
Perguruan Tinggi mengembangkan ilmu sebagai
proses, sedangkan perannya sebagai lembaga layanan menghasilkan ilmu sebagai
produk.
Dalam posisi sebagai lembaga kajian dan lembaga layanan maka
Perguruan Tinggi berfungsi sebagai konseptor,
dinamisator dan evaluator pembangunan masyarakat baik secara langsung maupun
secara tidak langsung.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka makalah ini secara
khusus membahas permasalahan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan aktualisasi?
2. Apa yang dimaksud dengan tri darma
perguruan tinggi?
3. Bagaimana cara mengaktualisasi
Pancasila di perguruan tinggi?
C. Landasan Teori
Dalam penyusunan makalah ini, kami
mendapatkan bahan makalah yang berasal dari 2 sumber. Sumber tersebut yaitu :
buku yang berjudul “Pendidikan Pancasila” karya A.T Soegito,dkk dan dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aktualisasi Pancasila
Aktualisasi berasal dari kata aktual yang berarti
betul-betul ada, terjadi dan sesungguhnya, hakikatnya. Dimana Pancasila memang
sudah jelas berdiri dalam bangsa Indonesia sebagai dasar negaranya.
Aktualisasi Pancasila adalah
bagaimana nilai-nilai Pancasila benar-benar dapat tercermin dalam sikap dan
perilaku seluruh warga negara mulai dari aparatur Negara sampai kepada rakyat
biasa.
Nilai-nilai Pancasila yang
bersumber pada hakikat Pancasila adalah bersifat universal, tetap dan tak
berubah. Nilai-nilai tersebut dapat dijabarkan dalam setiap aspek dalam
penyelenggaraan Negara dan dalam wujud norma-norma, baik norma hukum,
kenegaraan, maupun norma-norma moral yang harus dilaksanakan dan diamalkan oleh
setiap warga Negara Indonesia.
Aktualisasi Pancasila dapat
dibedakan atas dua macam yaitu :
1. Aktualisasi Objektif
Aktualisasi Pancasila secara objektif yaitu melaksanakan pancasila dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan
yang meliputi kelembagaan Negara antara lain: legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif. Selain itu juga meliputi bidang-bidang aktualisasi lainnya. Seperti
politik, ekonomi, hukum terutama dalam penjabaran kedalam undang-undang,
garis-garis besar haluan Negara, hankam, pendidikan maupun bidang kenegaraan
lainnya.
2. Aktualisasi Subjektif
Aktualisasi Pancasila secara subyektif
adalah aktualisasi pancasila pada setiap
individu terutama dalam aspek moral dalam kaitannya dengan hidup Negara dan
masyarakat. Aktualisasi yang subjektif tersebut tidak terkecuali baik warga
Negara biasa, aparat pentelenggara Negara, penguasa Negara, terutama kalangan
elit politik dalam kegiatan politik, maka dia perlu mawas diri agar memiliki
moral ketuhanan dan kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam pancasila.
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara memerlukan kondisi dan iklim yang memungkinkan segenap lapisan
masyarakat yang dapat mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dan dapat
terlihat dalam perilaku.
Perpaduan ciri tersebut di dalam
kehidupan kampus melahirkan gaya hidup tersendiri yang merupakan variasi
dari corak kehidupan yang menjadikan kampus sebagai pedoman dan harapan
masyarakat.
B. Tri Dharma Perguruan Tinggi
Pendidikan tinggi sebagai institusi
dalam masyarakat bukanlah menara gading yang jauh dari kepentingan masyarakat
melainkan senantiasa mengemban dan mengabdi kepada masyarakat. Perguruan tinggi
diselenggarakan dengan tujuan untuk :
1.
Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
akademik dan/atau professional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian.
2.
Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian
serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat
dan memperkaya kebudayaan nasional.
Dalam
rangka mencapai tujuan tersebut, perguruan tinggi menyelenggarakan kegiatan
yang disebut dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang terdiri dari :
1.
Pendidikan
Merupakan
kegiatan dalam upaya menghasilkan manusia terdidik yang memiliki kemampuan
akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau
menciptakan IPTEK dan seni.
2.
Penelitian
Kegiatan
dalam upaya menghasilkan pengetahuan empirik, teori, konsep, model, atau
informasi baru guna memperkaya IPTEK dan seni.
3.
Pengabdian Kepada Masyarakat
Kegiatan
yang memanfaatkan IPTEK dalam upaya memberi sumbangan demi kemajuan masyarakat.
C.
Penumbuhan Moral Etika Pancasila
Akhir-akhir ini di berbagai tempat timbul kerusuhan massa
yang cenderung brutal dikarenakan adanya kesenjangan sosial antara pemerintah
pusat maupun daerah. Hal ini menimbulkan gejolak berupa gerakan pengacau
keamanan bahkan tuntutan untuk melepaskan diri misalnya Aceh dan Irian Barat.
Apabila tidak segera diatasi maka akan menyebabkan disintregrasi bangsa. Disini
pula dikarenakan hubungan social lainnya, kebebasan berkumpul sangat dibatasi, kesadaran
pemeliharaan lingkungan yang kurang, kurangnya kerjasama antar agama, kurangnya
penyadaran social, serta sentiment yang selalu ditutup-tutupi dengan isi SARA.
Yang justru menyebabkan meledaknya kerusuhan di beberapa tempat.
Padahal para pendiri bangsa telah mencontohkan pada kita
bagaimana cara mencipatakan situasi demokrasi melalui BPUPKI – PPKI dengan
melakukan perdebatan dan pemufakatan disaat-saat mempersiapkan kemerdekaan.
Bahkan saat proklamasi hingga pengesahan UUD 1945 mereka tetap bersatu hingga
Negara Republik Indonesia dapat diwujudkan.
Persoalan demokrasi bukan hanya masalah yang menyangkut
pengaturan kekuasaan Negara, melainkan juga terkait cara hidup antar kelompok
masyarakat yang sangat pluralis dimana persoalan-persoalan sosial dapat
dipecahkan secara bersama. Maka muncullah pemikiran kearah desentralisasi
pemerintahan yang kurang lebih sejalan dengan perkembangan masyarakat modern
dan demokratis. Namun terjadinya kerusuhan dibeberapa tempat, kekejaman bahkan
pembunuhan antar masyarakat etnis bertentangan dengan jiwa dan semangat
Pancasila. Sebab bagi bangsa Indonesia keanekaragaman etnis, agama, adat
istiadat, wilayah yang begitu luas yang konsekuensi logisnya, pluralisme, visi
dan aspirasi yang beraneka ragam harus diterima dan dihormati. Yang menjadi
perhatian kita adalah mengatasi pluralisme dai kerawanan menjadi asset nasional. Cara mengatasinya
yakni dengan “Etika Pluralisme”, yakni etika yang mengajarkan sopan santun
dalam sikap dan mau menerima beda pendapat dalam musyawarah dan mufakat sebagai
penjelmaan demokrasi Pancasila. Dengan demikian persatuan dan kesatuan bangsa
dapat diciptakan dan menghindari disintregrasi bangsa. Sarana yang sangat
strategis yakni dengan pendidikan Pancasila. Untuk itulah maka revitalisasi
nilai-nilai Pancasila serta moral etika Pancasila harus terus-menerus
dikembangkan.
D.
Tradisi Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik, Otonomi Akademik dan Peran Mahasiswa di
Masyarakat
1. Tradisi Kebebasan Akademik
Sejak universitas pertama kali berdiri di
Bologna (Italia), paham kebebasan yang selama itu dipegang oleh gereja mulai
digulirkan pada Universitas. Semua pimpinan agama memegang kekuasaan, mengambil
keputusan tentang kebenaran-kebebasan bagi masyarakat melalui mimbar
(excathedra). Pada masa itu kebenaran dan keadilan masih dikendalikan oleh
kesejajaran (juxtaposition) antara simpulan yang ditarik dari tafsir agama dan
yang merupakan hasil proses penalaran oleh para pemikir (ilmuwan dan filosof)
semakin diperlukan adanya batasan yang jelas. Tidak jarang simpulan tersebut
menghasilkan pertentangan pandangan (contra position ).
Dari apa
yang telah dicapai oleh para pemikir (ilmuwan dan filosof) pada abad
pertengahan dapat diamati suatu gejala empirik tentang kebebasan untuk mencapai
kebenaran :
a. Bahwa masyarakat
ilmiah perlu dikembangkan dalam lingkungan perguruan tinggi.
b. Sikap avveroisme (kelompok ilmiah nasionalis yang berusaha melepaskan
diri dari gereja ) semakin jelas dikalangan perguruan tinggi, mereka semakin
otonom dalam mencapai kebenaran.
c.
Otonomi
perguruan tinggi berhubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kondisi itu
bersifat conditio sinequanon bagi
kemajuan peradaban imu. Dalam hal ini segala pengertian tentang kebebasan
kampus dan kebebasan akademis adalah pengertian yang setara bagi kemajuan.
Kebebasan akademik dalam hal ini
lebih berciri aktivitas wahana pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat diikuti
oleh sivitas akademika (dosen dan mahasiswa). Dalam hal ini sivitas akademika
akan menempuh jalur norma akademik, yang mencangkup serangkaian langkah
metodologis: penemuan masalah, tujuan, manfaat, cara mencapai kebenaran,
analisis, dan simpulan.
2. Kebebasan Mimbar Akademik
Dalam perkembangan dan
penyelenggaraan otonomi kampus bagi perkembangan ilmu pengetahuan muncul
istilah kebebasan mimbar akademik, yaitu
proses pengembangan ilmu lewat kegiatan perkuliahan (mimbar akademik). Kebebasan
mimbar akademik lebih ditekankan pada pengembangan kognitif (pemahaman),
apresiasi (afektif), dan keterampilan (psikomotorik)yang dilakukan dalam
laboratorium dan perpustakaan. Media untuk pengembangan mimbar akdemik lebih
ditekankan pada diskusi, seminar, dan simposium. Dalam kegiatan ini dosen dan
mahasiswa akan berada dalam suatu pola interese, yaitu berada pada satu tatanan
bahasa yang bersifat setara (VIS a VIS) namun dosen tetap pada posisi pemegang
mimbar (ex cathedra). Posisi pemegang mimbar utama adalah guru besar
(professor). Ia memiliki otoritas sebagai pengembang ilmu karena telah bergelar
doctor.
Suria Sumantri (1986 : 27) menyebut mahasiswa sebagai setengah ilmuwan, yaitu
mahasiswa belum memiliki kewibawaan penuh pemegang otoritas dalam kegiatan
ilmu. Fungsi mahasiswa menjadi cukup srtategis dalam kegiatan keilmuan yang
mengarah pada perkembangan peradaban manusia dan teknologi. Pertama, pada
proses pengembangan ilmu mahasiswa, mahasiswa merupakan pelaku muda (colega
minor)yang sedang belajar dan mengalami bimbingan dari dosen (colega mayor).
Mahasiswa akan mengalami pendewasaan diri sebagai ilmuwan. Kedua, pada proses
pengembangan ilmu, mahasiswa merupakan pelaku muda yang pada umumnya sedang
mengalami bimbingan dari para dosen. Dalam hal ini mahasiswa sering kali
memerlukan media tukar pendapat, dialog kritis untuk saling memberi masukan.
3. Otonomi Keilmuan
Ilmu yang berkembang tidak hanya
kerangaka pemikiran logis, melainkan telah teruji, sehingga dengan ilmu orang
akan bias menjelaskan gejala alam kemudian meramalkannya. Ilmu mempunyai obyek
kajian (ontologis), dan memiliki kemampuan untuk mencapai kebenaran
(epistemologi) serta kemampuan terkait dengan masyarakatnya (aksiologis). Ilmu
yang dapat berkembang pad prinsipnya karena kaidah moral, pertimbangan etis,
dan norma kerja profesinya.
Ilmu pengetahuan memang dapat
memperoleh otonomi dalam melakukan kegiatannya untuk mempelajari alam semesta,
tetapi masalah moral akan timbul manakala berkaitan dengan ilmu pengetahuan
itu. Ilmu pengetahuan memiliki 2 sisi kajian yaitu sisi kajian internal dan
eksternal. Sisi kajian internal digunakan manakala ilmu hanya menggunakan
metode spesifik yang dimilikiuntuk dipraktekkan ilmuwan secara otonomi (Salim,
1994: 15). Sedang pada sisi kajian eksternal , ilmu akan berkaitan dengan
bidang IPOLEKSOSBUDROHANKAM (ideology, politik, ekonomi, social, budaya,
rohani, pertahanan, dan keamanan.
Ilmu pengetahuan hanya memiliki
otonomi dalam sisi kajian internal (terbatas pada penerapan metodologinya untuk
mencapai kebenaran ilmiah). Ilmu pengetahuan selalu dituntut bagaimana dapat
memiliki kegunaan di masyarakatnya. Misalnya keberadaan ilmu kedokteran harus
mampu mengatasi masalah kesehatan masyarakat secara luas, seperti menciptakan
obat untuk mengatasi HIV,dll. Ilmu sosial (politik,sosial,ekonomi, budaya, dll)
harus mampu menciptakan dinamika dan intregitas bagi masyarakatnya. Dapat
dikatakan bahwa ilmu sosial tidak mungkin berkembang terlepas dari
masyarakatnya, karena ilmu sosial adalah bagian dari gejala perilaku
masyarakat.
4. Peran Mahasiswa di
Masyarakat
Keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan
masyarakat dapat dilakukan sejauh kegiatan itu memiliki relevansi langsung
dengan kematangan ilmu pengetahuan yang diminati. Keterlibatan mahasiswa
terhadap masalah sosial sebatas mahasiswa memiliki komitmen yang kuat terhadap
pengembangan tugas akademis. Sebagai contoh keterlibatan mahasiswa dalam
masalah politik, harus bersifat peningkat visi akademisnya, pengembangan
wawasan, pengayaan substansi dan kedewasaannya.
Peran
mahasiswa di masyarakat:
1.
Mahasiswa sebagai pribadi yang sedang belajar berproses “untuk menjadi”
(ilmuwan) sehingga masih membutuhkan bimbingan dan pembinaan akdemik yang
intensif dari para dosen.
2.
Mahasiswa dapat berperan sebagai perantara pembaharuan (agent of modernization)
terutama membantu masyarakat miskin yang masih tertinggal guna meningkatkan
pendapatannya.
3.
Mahasiswa perlu belajar untuk dapat mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian,
laporan hasil kajian ilmiah, dan hasil diskusi ilmu pengetahuan kepada
masyarakat dalam tataran bahasa indonesia yang sederhana sehingga dapat
diterima semua pihak.
4.
Tidak semua orang dalam masyarakat dapat meraih peluang masuk kuliah di bangku
perguruan tinggi. Peluang masuk perguruan tinggi hanyalah bagi lulusan SMA yang
memiliki motivasi dan dukungan dana yang cukup. Pengadaan dana yang cukup besar
itu membutuhkan bantuan masyarakat yang secara langsung digunakan untuk
pengadaan prasarana dan sarana belajar.
E.
Memposisikan Kebebasan Akademik dan Kebebasan Mimbar Akademik Secara
Proporsional
Kesenjangan
antara teori keagamaan dan penalaran ilmiah makin membesar karena para filsuf
yang tergabung dalam kelompok penganut
averroisme terus bertahan pada pendiriannya untuk menggarap
masalah-masalah filsafat dan ilmu bebas dari ikatannya dengan keagamaan.
Averroisme terus berkembang dan memunculkan berbagai aliran filsafat serta
cabang ilmu secara mandiri. Pesatnya pertumbuhan sebagai cabang ilmu makin
menampilkan ilmu sebagai suatu manifestasi yang otonom dan hal ini menimbulkan
tuntutan agar bagi pusat-pusat keilmuan- universitas diakui juga otonomi
universitas sebagai lembaga yang menyelenggarakan kegiatan ilmiah. Maka
muncullah istilah otonomi universitas, yaitu otonomi kelembagaannya sebagai
pengelola akademik ; dalam suasana itu universitas merupakan tempat persemaian
intelektual dan cultural dalam arti luas, bukan sekedar perakit sarjana.
Otonomi ilmu selanjutnya juga
dianggap sebagai condition sine qua non bagi terwujudnya perkembangan dan
kemajuan ilmu khususnya serta peradaban pada umumnya sering juga diakui sebagai
otonomi universitas sebagai lembaga yang menyelenggarakan pengajaran dan
penelitian berbagai disiplin ilmu sesuai kaidah-kaidah akademik.
Sejalan
dengan hasrat diakuinya otonomi ilmu maka kalangan ilmuwan khususnya kalangan
akademis mengharapkan diakui dan berlakunya kebebasan akademik serta kebebasan
mimbar akademik. Yang pertama, berkenaan dengan kebebasan para akademis untuk
melakukan studi, penelitian, pembahasan serta pengajaran ilmu kepada dan antara
sivitas akademika. Yang kedua, berkenaan dengan hak serta tanggung jawab
seorang yang memiliki prasyarat dan atribut untuk diakui wewenang dan wibawa
keilmuannya guna mengutaran fikiran dan pendapatnya ex catedra academica. Hak
menggunakan cathedra (mimbar ) tidak dimiliki setiap sivitas akademika,
melainkan oleh para akademisi yang memenuhi segala persyaratan untuk bertindak
selaku tenaga pengajar atau peneliti yang mandiri.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perguruan
Tinggi sebagai lembaga
pendidikan jenjang terakhir dari hirarki pendidikan formal mempunyai tiga missi
yang diemban yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat atau lebih
dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Tiga missi yang diembankannya tersebut bukanlah missi yang ringan untuk
direalisasikan. Missi pendidikan di Perguruan
Tinggi merupakan proses
berlangsungnya pewarisan ilmu pengetahuan dari satu generasi ke generasi
berikutnya, agar dengan demikian proses alih generasi juga diikuti dengan
proses alih ilmu pengetahuan dalam arti luas. Kemudian untuk menghindari
stagnasi ilmu pengetahuan yang berorientasi pada tuntutan zaman, maka dalam
proses berlangsungnya pewarisan ilmu pengetahuan membutuhkan pengembangan
konsep atau teori ke arah konsep atau teori yang lebih baik. Usaha pengembangan
teori atau konsep dilaksanakan secara sistematis dan melalui prosedur ilmiah,
kegiatan ini disebut penelitian.
B. Saran
Diharapkan
dengan selesainya makalah ini agar Mahasiswa mengerti tentang arti tridharma
dan tentang tuntutan dari tridharma perguruan tinggi, khususnya darma
pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Bakti. 1995. Tridharma, Seikat Bunga
Rampai. Jakarta: Yayasan Balai Kitab Tridharma Indonesia.
Prasetyo, joko Tri,
Drs., Ilmu budaya Dasar, Rineka Cipta. Jakarta,2004.
Http://nothingwrongwithmylongblackhair. Wordpress.com/2010/05/24/manusia-dan-kegelisahan/http://agama.kompasiana.com/2010/12/20/agama-tridharma-buddha-tao-dan-konghucu-sebuah-latar-belakang/
http://www.mahabodhi.or.id/html/index.php?id=artikel&kode=1